Manusia Ritmik:

Dari Kesurupan Hingga Kebersamaan.

            Irama atau ritme telah menjadi bagian dari kehidupan manusia, menghiasi ruang privat sampai tempat-tempat publik. Irama dalam bentuknya yang lebih kompleks yaitu Musik tenggelam dalam sejarah manusia, musik dalam arena kontemporer menjadi perlawanan tehadap identitas budaya yang mapan. Dalam konteks Indonesia catatan mengenai penyelidikan musik dilakukan oleh penulis asing. Pengenalan musik khas jawa untuk Dunia luar oleh pelayar Sir francis Dranke (1540-1596) yang mengunjungi Jawa pada tahun 1580. Dranke mencatat dalam Golden Hind bahwa musik khas Jawa yaitu gamelan terdengar asing baginya, bahkan cenderung aneh. Setelah itu Colin Mcphee pada awal tahun 1930 juga mencoba untuk mempelajari musik khas Bali.

            Ihwal di atas menandakan catatan tertua manusia Indonesia tentang musik telah ada sejak 500 tahun lalu sehingga eksistensi musik dapat ditelusuri lebih jauh ke belakang. Ritme dalam musik memegang peranan yang krusial bahkan dapat dikatakan penentu. Studi tentang Ritme dapat dikaitkan dengan gejala kejiwaan atau histeria. Studi tentang histeria dituliskan Freud dan Breuer pada tahun 1892. Histeria sampai pada abad ke 19 masih disebut sebagai gejala mistik, oleh Freud dan Josef Breuer dikaitkan sebagai gejala psikosomatik, menitik beratkan pada kondisi kejiwaan seseorang. Gejala-gejala kejiwaan manusia baik sebagai suatu kelompok maupun individu di awal abad 21 telah telah menemukan relasional dengan ritme.

Biomusikologi

            Beberapa penelitian yang dilakukan oleh para antropolog sebagai misal Mead dan Bateson di Jawa dan Bali tentang pengaruh ritme tertentu terhadap gestur atau prilaku manusia menjadi menarik untuk diuraikan. Begitu juga pengamatan Christian Huygens terhadap dua bandul yang memiliki gerakan dan bunyi yang berbeda ketika dibiarkan ada dalam satu ruangan ternyata membentuk ritme yang sama. Kajian tentang hysteria massa memberikan gambaran bagaimana music dapat mempengaruhi kejiwaan seseorang.

            Fenomena keterbawaan ritme telah dibahas dalam sebuah artikel yang berjudul “In Time With The Music: The Concept of Entrainment and Significance for Etnhomusicology” oleh Martin Clayton, Rebecca Sager dan Udo Will. Fenomena keterbawaan dalam artikel di atas dimengerti sebagai “a procces whereby two rhythmic processes interact with each other in such a way that they adjust toward and eventually “Lock in” to a common phase and /or period”. Bahwa keterbawaan adalah sebuah proses dimana dua ritme atau lebih saling berinteraksi satu sama lain dan menyatu membentuk satu ritme bersamaan pada suatu periode tertentu. Terjadi sinkronisasi diri dengan menyatunya dua ritme tersebut yang terejawantah dalam bentuk gerak tubuh, sikap dan prilaku.

Manusia Ritmik

            Ritme menurut Rouse tidak didengar melalui kemampuan audio saja tetapi dapat berupa persepsi diri. Sebagai misal bagaimana fenomena kesurupan atau Kerauhan (di Bali) merupakan akibat dari pertemuan antara dua ritme, ritme jiwa dan ritme yang diterima dari luar seperti musik atau gamelan, kondisi lingkungan, suasana malam dan lain sebagainya. Dua ritme ini akhirnya menyatu membentuk ritme yang bersamaan sehingga tingkah laku seseorang mengikuti ritme tersebut.

            Proses keterbawaan ini dapat menjelaskan ihwal yang sakral sekaligus profan. Misal yang lain bagaimana sikap patriotik, kebersamaan seperti kerja bhakti bisa lahir dari suatu ritme yang kita terima dari luar seperti rasa memiliki lingkungan bertemu dengan ritme berupa perintah atasan sehingga memunculkan tanggung jawab sosial. Proses keterbawaan berkaitan dengan seluruh hal tentang kehidupan manusia dan bersifat universal. Keterbawaan inilah yang kemudian dapat menggiring manusia baik secara kognitif, afektif maupun psikomotorik. Keterbawaan adalah gejala dasar yang yang menghubungkan dunia luar dengan pikiran manusia bahkan masyarakat. Jadi Biomusikologi mungkin dapat melampaui Ethnomisikologi.

Ida Bagus Made Satya Wira Dananjaya