Porosan dan Porosan Silih Asih

Jejak Kerohanian Awal Nusantara

 Kwangen berasal dari kata dasar “wangi” dalam bahasa j awa kuno yang artinya harum. Kemudian mendapatkan awalan ‘ke’ dan akhiran ‘an’ menjadi kewangian disandikan menjadi kwangen artinya keharuman yang berfungsi untuk mengharumkan nama Ida Sang Hyang Widhi, Tuhan Yang Maha Esa. Jika dikaitkan dengan huruf suci, kwangen merupakan sejenis upakara simbol “Om kara”. salah satu unsur penting dan pokok yang harus ada pada kwangen adalah porosan

Porosan merupakan unsur yang wajib ada pada Kwangen dan Canang Sari, porosan terdiri atas Daun Sirih, Buang Pinang, dan Kapur. Daun sirih dihiasi buah pinang dan kapur kemudian diikat oleh benang putih. Penggunaan Daun Sirih dapat dilacak jauh kebelakang dan berkelindan dengan konteks eko-sosio-kultural masyarakat Asia Tenggara. Banyak ditemukan tanaman Daun sirih, Buang pinang di Kawasan Asia Tenggara, kekayaan ekosistem tersebut dapat memengarungi kehidupan sosial dan religiusitas masyarakat setempat.  Mengikuti Reid (2014) dalam buku berjudul “Asia Tenggara Kurun Niaga 1450-1680” meskipun tradisi “memamah” daun sirih telah tersebar di Cina Selatan dan India selatan pada abad ke-15, tetapi ditengarai “memamah” daun sirih berasal dari Asia Tenggara. Lebih Lanjut Reid (2014:50) mencatat Daun Sirih adalah makanan yang memiliki dimensi sosiologis, sering digunakan untuk kegiatan ramah-tamah, dan menunjuk catatan China yang ditulis Ma Huan dan Arkeolog Indonesia Jakob Sumardjo (2004) dalam ritual perkawinan peran Sirih, buang pinang, dan Kapur sangat penting sebagai tanda diterimanya lamaran dari keluarga mempelai laki-laki oleh mempelai perempuan.

            Artikel Atmadja, dkk (2017) berjudul “Genealogi Porosan sebagai Budaya Hibrida Dan Maknanya Pada Masyarakat Hindu di Bali” menyimpulkan porosan adalah simbol suci dalam bentuk budaya hibrida. Budaya nginang masyarakat Bali yang telah tertanam sejak diperkaya dengan pemujaan terhadap Tuhan dalam manifestasinya sebagai Tri Murti. Daun sirih simbol Dewa Wisnu dalam fungsinya sebagai pemeliharan, kapur simbol dewa Siwa sebagai pelebur, dan buah pinang simbol Dewa Brahma sebagai pencipta. Buah pinang analog dengan warna merah simbol Dewa Brahma, kapur dengan warna putih simbol Dewa Siwa, dan Daun Sirih dengan warna Hitam simbol Dewa Wisnu. Pemaknaan terhadap porosan tidak berhenti pada gagasan Atmadja, dkk (2017), porosan dapat ditelusuri melalui pencarian dunia bathin masyarakat nusantara lama yang masih terlihat jejak-jejaknya.

            Meminjam penelusuran Rachmat Subagja (1981) dalam “Agama Asli Indonesia” , Soekmono (1995) dalam “Pengantar Sejarah Kebudayaan Indonesia 1” dan gagasan Hadiwijono (1985) dalam “Religi Suku Murba di Indonesia ” terdapat beberapa ciri kerohanian Nusantara awal yang melekat pada porosan. Ciri yang paling mencolok adalah penggunaan warna putih-merah-hitam sebagai simbolisasi pemujaan kepada Hyang adikodrati. Penggunaan ketiga warna tersebut telah ada sejak lama pada suku-suku di Indonesia yang berciri tradisi pemburu-meramu, ladang dan pertanian. Menurut Subagja (1981) penggunaan ketiga warna tersebut terkait dengan simbol ihwal yang paling dekat dengan kehidupannya dan bersifat binari-oposisi. Putih adalah simbol langit, hitam adalah simbol bumi atau tanah, sedangkan merah adalah simbolisasi medium atau perantara. Hingga kini simbol-simbol dengan penggunaan warna putih-merah-hitam masih ada pada berbagai kebudayaan yang bersifat fisik, seperti pada kain ulos, dan perisai suku Asmat.

            Langit dan bumi adalah dua kontras yang saling berpasangan dan memiliki karakteristik gender tersendiri. Langit analog dengan karakteristik kelaki-lakian dan Bumi ekuivalen dengan feminitas. Medium antara langit dan bumi atau penyatuan antara laki-laki dan perempuan akan melahirkan keharmonisan, kesejahteriaan, dan kesuburan. Konjungsi antar keduanya memerlukan medium untuk mempersatukannya dan bersatu di suatu kalangan yang tidak di atas (langit) dan tidak di bawah (bumi), tempat itulah dunia tengah dengan simbol warna merah. Penyatuan keduanya (langit-bumi, laki-perempuan, luar-dalam, kanan-kiri, ruang-waktu) berada di ruang tengah, ruang kehidupan manusia yang bersifat realitas ekstrem dan merupakan prasyarat kehidupan yang harmonis, sejahtera dan subur.

            Penggunaan warna terkait dengan pola pemikiran Nusantara kuno yang telah terbentuk dan dipelopori oleh bangsa Austronesia yang telah mengenal budaya bercocok tanam. Pola simbolisasi yang abstrak dan non mimietik telah dikenal oleh bangsa Austronesia, Manguin (1986) dalam “Shipshape Societies: Boat Symbolism and political system in Insular Southeast Asia” mencatat aktifitas kerohanian bangsa Austronesia yang kemudian mendiami pulau di Indonesia adalah pemujaan terhadap leluhur dengan ragam simbol yang bersifat abstrak dan non-refrensial (tidak menunjuk aslinya) termasuk penggunaan warna tertentu. Sebagai misal penggunaan pola hias, huruf S dan huruf S terbalik, pola hias segitiga dan segitiga terbalik, pola hias yang menyerupai binatang tertentu, kedok muka, dan penggunaan warna putih-merah-hitam.

            Terdapat dua pola interaksi antara langit (putih) dengan Bumi (hitam) yang menggejala dalam ruang kerohanian nusantara kuno. Pertama gerak turun, Hyang adikodrati yang ada di atas (langit) turun ke bawah (bumi) bagaikan analog dengan turunnya hujan, kemudian diiringin oleh gerak ke kiri berlawanan dengan arah jarum jam sehingga berputar turun. Kedua gerak ke atas, manusia dengan ragam laku (ritus) tertentu menunjukan kualifikasi yang meningkat dan setara dengan Hyang Adikodrati sehingga dapat naik ke atas, diiringi dengan gerak ke kanan menyerupai jarum jam yang berputar menuju ke atas. Gerak naik dan gerak turun mewujud di alam tengah atau alam manusia sehingga penyatuan antara langit-bumi, hitam-putih tergelar dalam ritus masyarakat kuno nusantara.

lebih lanjut porosan silih asih yang terdiri atas dua porosan dan diikat menjadi satu adalah simbol kesuburan yang bernuansa tantrisme. dualitas eksistensial yaitu kekuatan purusa dan kekuatan pradhana adalah dua unsur yang dalam religiusitas kuno nusantara sebagai dua eksistensi yang berbeda saling melengkapi. kedua unsur tersebut dikawinkan dan menjadi kekuatan dalam menunjang kesejahteraan dan kesuburan. kedua unsur tersebut juga bersenyawa dengan tantrisme dan menjadi konsep ardhanareswari.

            Uraian di atas menunjukan porosan tidak berhenti pada aspek sosiologis, tetapi berbaur dengan kerohanian Nuasntara awal yang religius. Proses pengenalan dengan alam sekitarnya direkonstruksi sedemikian rupa sehingga melahirkan kebudayaan adiluhung dan sikap spiritualitas yang jejak-jejaknya masih ditemui hingga hari ini, utamanya diwarisi oleh masyarakat Hindu dan penghayat aliran kepercayaan di Indonesia.