Sekilas Hantu pada Periode Klasik
Konstelasi Landasan Moral Masyarakat masa klasik
Mahkluk halus yang kemudian disebut Hantu dengan ragam terminologinya menyangkut mahkluk tidak kasat mata dan supra-insani. Eksistensi mereka tidaklah hanya dalam imaji masyarakat, tetapi merasuk kedalam bathin masyarakatnya juga terkesan dirayakan. diyakini peranan Raja dalam mempertahankan kekuasaan dan adanya kutukan menjadi cikal diteruskannya konsep Hantu hingga saat ini selain memang bertahannya kepercayaan pre-historis yaitu animisme dan dinamisme.
menjadi menarik apabila hantu tidak hanya dimaknai sebagai bagian dari konstelasi politik tetapi juga gambaran moralitas masyarakat yang menerima memasukkan hantu dalam peta kongnitif komunalnya. memikirkan dan membahas hantu tidak hanya politis tetapi juga moralis.
Kutukan sebagai awal
Ditelusuri pada era klasik, prasasti-prasasti selalu memuat bagian sapatha atau kutukan bagi mereka yang melanggar ketentuan Raja. Kedudukan Raja sangat dihormati menurut Coedes (1989:68) di daerah-daerah Asia Tenggara ada suatu pantangan menyebut nama pribadi seseorang yang bergelar tinggi dan dianggap memiliki kelebihan tertentu, kebiasaan-kebiasaan serupa juga menghiasi prasasti-prasasti di wilayah Khmer bahwa nama pribadi Seorang Raja hanya ditulis sekali saja selanjutnya ditulis Maha Raja. Tingginya kedudukan Raja berikut konsep Dewa Raja yang berkembang menandakan setiap ketentuannya merupakan perintah dan pelanggaran adalah kejahatan atau dosa, meminjam gagasan semadi Astra (1997:24) Raja sangat bersandar pada kekuasaan Ilahi.
Terkait Kutukan, salah satu prasasti tertua di Indonesia yaitu prasasti Talang Tuo dan Telaga Batu di Palembang yang berasal dari abad ke-7 Masehi menyebutkan ragam kutukan bagi setiap detail perbuatan yang mencoba untuk menentang kekuasaan raja. Di Jawa Kuno berdasar catatan Vollenhoven (1931:164) di prasasti-prasasti jawa kuno terutama yang memuat “Sima” (ketentuan) tentang perdikan atau daerah bebas pajak, hampir selalu memuat kutukan karena adanya kepentingan Raja terhadap tanah dan penghuninya. Beberapa Sapatha secara rinci menyebutkan kesengsaraan yang akan dihadapi ketika melanggar ketentuan Raja. Kesengsaraan itu bahkan terkesan sangat fatal, mengingat konsep Dewa Raja yang berlaku maka kesengsaraan tidak hanya dirasakan secara duniawi (hilangnya harta benda dan kecacatan fisik) juga di alam akhirat hingga menurun ke anak cucu. Lebih jauh, menurut Maulana (1993:127) Sapatha dalam sebuah Prasasti dapat memberikan jaminan pada institusi politik dan Agama, karena kontrol sosial yang masih sangat lemah, sehingga kutukan dianggap cara yang ampuh untuk meminimalisasi pelanggaran.
Kemalangan yang Kotor
Kutukan disertai dengan kehadiran mahkluk halus hampir selalu mengikuti sapatha di masa Jawa Kuna. relief-relief di Candi Sukuh memahat pandangan masyarakat Jawa Kuna tentang hantu yang beberapa jenisnya diuraikan kembali dalam kekawin Sena. Menariknya pada masa akhir Majapahit sekita Abad ke 15 eksistensi Hantu kembali dikuatkan dalam karya sastra, bahkan dengan diperkenalkan tokoh sastra Ra nini dari Dirah yang memiliki kekuatan dahsyat dalam Ilmu Pengiwa disebutkan sebagai penguasa mahkluk halus.
hasil dari ketekunan tapa Ra Nini menjadikannya sebagai penguasa Hantu-Hantu yang dapat digunakan untuk mengatasi musuh-musuhnya, namun tujuan awal tersebut menjadi tidak terkendali karena rasa marah yang menguasai Ra Nini sehingga menjadikan semua hantu-hantu yang dikuasainya untuk menyebarkan penyakit dan ketakutan. Konsep ruwat akhirnya muncul sebagai pengentas dari semua kerusakan yang ditimbulkan oleh Ra Nini dan para hantunya. hal ini menandaskan pergeseran hantu dari fungsi kontrol masyarakat menjadi proyeksi kondisi kotor atau tidak suci. Tema kehancuran dan kematian yang menyeruak pada akhir era Majapahit akibat pertempuran antar saudara dan pemberontakan menjadikan kondisi tersebut kotor sehingga ruwat adalah solusi untuk menjadikan kondisi kembali kondusif atau suci.
Membaca Moral atas Kepercayaan pada Hantu
Sketsa Hantu masa klasik tidak melulu tentang ketakutan, suasana seram dan mencekam tetapi hampir seluruhnya bersandar pada kondisi moral masyarakat yang dibaca sebagai landasan moral masyarakat.
- Kontrol sosial adalah tentang bagaimana masyarakat memandang kewenangan sebagai pencipta ketertiban. Kewenangan dianggap sebagai institusi yang dapat menata kehidupan masyarakat menuju tujuan hidup bersama (komunal) dengan mengorbankan individu-individu pembangkang lepas dari bagian masyarakat.
- Ruwat merupakan struktur kesakaralan dalam masyarakat. Kedamaian adalah gambaran dari kehidupan sakral yang diinginkan oleh masyarakat sebagai sebuah komune. Kematian yang diakibatkan oleh dendam, amarah, dan persaingan dianggap kotor sehingga harus ditata (dibersihkan) kembali menuju ke arah kedamaian (sakral).
- Masyarakat klasik memandang moralitas sebagai kehidupan yang mengedepankan kemerdekaan yang terbatas dan mengikat. Raja baik sebagai individu maupun lembaga membatasi dan mengarahkan kehendak bebas masyarakatnya atau barometer moral sehingga jarang terjadi liberalisme yang kebablasan. Singkatnya masyarakat klasik yang bermoral adalah masyarakat yang tertata oleh lembaga eksternal bukan individu-individu yang bebas menentukan nilai dari perbuatannya walaupun merupakan haknya untuk berbuat selama tidak membahayakan nyawa orang lain, maka pentingnya moralitas bersama atau nilai tentang mana yang kotor (kehancuran) dan mana yang bersih (kedamaian) walaupun tidak melulu mengenai membahayakan nyawa atau merebut hak milik orang lain.
Ida Bagus Made Satya Wira Dananjaya