Hidup Minimalis Ala Fumio Sasaki
(3 Langkah Menaiki Tangga Kebahagiaan)
“Manusia Tidak Memiliki Kuasa untuk memiliki apapun yang dia mau, tetapi manusia memiliki kuasa untuk tidak mengingini apa yang belum dia miliki, dan dengan gembira memaksimalkan apa yang dia terima ” (Seneca)
Tsunami produk Industri telah menjadi bagian dari kehidupan modern, banyak pilihan produk disajikan untuk memenuhi kebutuhan manusia dari kebutuhan primer, sekunder bahkan tersier. Tidak jarang, semua jenis produk industri tidak hanya ditujukan untuk memenuhi kebutuhan tetapi juga sebagai koleksi. Nilai produk tidak hanya pada pemenuhan keinginan manusia juga menjadi simbol status dan hobi atau kegemaran.
Pada ihwal pertama, yaitu produk sebagai pemenuhan kebutuhan manusia, terkadang jatuh pada pemborosan, sebagai misal pakaian (baju, celana, sepatu) yang kita miliki melebihi apa yang kita perlukan. Hal ini sejalan dengan logika modern yang merupakan “anak kandung” dari kapitalisme dengan deru mesin industrialis sebagai penggeraknya. Bahwa apa yang kita miliki adalah cerminan personal atau citra diri. Terlebih konsumsi produk sekarang hanya tinggal di digenggaman, sekali klik semua dapat dibeli, maka semakin konsumtif semakin baik, demikian idiom baru yang terpatri.
Pertarungan modalitas berikut identitas di era modern menjadi semacam mercusuar jaman. Kita dicekoki sebuah gaya pikir yang mapan bahwa masa kini merupakan masa persaingan yang ditandai oleh beragam pemenuhan jati diri melalui konsumsi produk yang beredar di pasaran. Menunjukan diri di ruang publik adalah melalui apa yang kita miliki dan tampilkan, semakin kita mengikuti arus gaya hidup, fashion semakin kita merasa hadir di dunia dan mampu bersaing, “Aku belanja maka aku ada” demikian kongkritnya.
Fumio Sasaki dalam Buku berjudul “Goodbye, Things” menunjukan pengalamannya dalam menggerus pandangan modern dan menjalani hidup secukupnya atau hidup yang minimalis. Sebuah perjalanan hidup yang memberikan arah berbeda dengan mencoba menerapkan pandangan hidup baru, sebagai respon atas kejenuhan dan kegalauan yang dialami oleh Sasaki dalam mencoba mengikuti arus jaman. Sebagaimana pengalaman Sasaki, bahwa tindakan konsumtif terkadang memberi arah yang dapat menjerumuskan kita pada “kegilaan memiliki”. Sehingga kita akan terus merasa kurang, terpecah, dan resah.
Pandangan Sasaki sepenuhnya mencoba membenahi arus pikiran modern yang mengedepankan sikap konsumtif dalam menapaki berikut mendekati jalan kebahagiaan. Pencerahan bathin yang merujuk pada cara pandang baru dalam menjalani hidup di era modern yang oleh Sasaki disajikan dengan mengalir dan jernih. Berikut tiga pandangan yang diuraikan oleh Fumio Sasaki dalam menjalani hidup yang minimalis, seturut menapaki hidup yang lebih bahagia.
Pertama, tanamkan dalam diri bahwa produk atau barang yang anda miliki bukanlah cerminan diri Anda sepenuhnya. Merk sebuah produk dalam memapankan posisinya di masyarakat selalu memamerkan kekosongan identitas manusia dan mencoba untuk mengisi kekosongan tersebut dengan berbagai tag linenya. Sebagai misal Merk sebuah produk sepatu yang mencerminkan pemakainya tampil elegan dan dinamis, diikuti dengan merk sebuah produk baju kaos yang menampilkan pemakainya lebih maskulin dan bertenaga.
Identitas diri bagi manusia sangat penting bahkan merupakan sebuah keharusan untuk memiliki dan menampilkannya. Identitas adalah alat komunikasi dengan yang lain, manusia menunjukan dirinya melalui identitasnya. Kalimat yang telah saya tulis di atas “Aku belanja maka aku ada” menunjukan dua kata “aku” dengan perbedaan Aku (dengan huruf depan kapital) dan aku (dengan huruf kecil). Kata Aku (dengan huruf depan kapital) menunjukan diri yang otentik, sedangkan kata “aku” menandai identifikasi oleh pihak atau produk tertentu, setelah melakukan aktifitas belanja , atau Aku yang berubah menjadi aku yang telah teridentitaskan melalui aktivitas konsumtif.
Ihwal inilah yang didebat oleh Sasaki, dengan mengurangi citra dirinya dari apa yang dia miliki. Fumio Sasaki percaya bahwa pembentukan identitas diri untuk berkomunikasi dengan yang lain tidak semata atas dasar kepemilikan barang. Caranya, barang atau produk yang dia pakai sehari-hari hanya terdiri atas satu merk saja dan tidak terbilang mewah. Sepatu, baju, sabun mandi, shampo, tas hanya terdiri atas satu merk. Sasaki berargumen bahwa apa yang dia pakai tidak serta merta dapat menunjukan dirinya, barang atau produk yang dia pakai hanya melengkapi hidupnya agar lebih sehat dan rapi, tidak serta merta secara inheren menjadi bagian dari diri atau identitasnya.
Kedua, memiliki barang secara cukup lebih bahagia dibandingkan memiliki lebih banyak barang. Jargon kehidupan modern yang konsumtif seakan terus membuka keinginan diri untuk mengkonsumsi produk. Kuantitas bagi kehidupan modern juga penting mengingat ukuran pencapaian suatu upaya seseorang selalu dilabelkan pada kepemilikan barang. Fumio Sasaki sebelum menjalani hidup minimalis merasakan betapa tujuan akhir sebuah upaya selalu diukur oleh masyarakat dari apa yang dia miliki dan apa yang belum dia miliki. Energinya terkristal pada kepemilikan banyak barang yang belum dia miliki kendati ruang hidupnya telah cukup sesak dan tidak mampu memanfaatkan semua barang yang dimiliki. Pertanyaan mendasarnya untuk apa memiliki banyak sepatu, baju, alat elektronik kalau menghabiskan begitu banyak energi dan pikiran dalam merawatnya tetapi belum dapat dimanfaatkan ? kenapa begitu terikat terhadap berbagai barang ini ? apa tujuan kepemilikannya ?
Pertanyaan panjang di atas akhirnya menjadi guncangan besar dalam kehidupan Sasaki, jawaban atas pertanyaan tersebut terimplementasi dalam kehidupannya dan tertuang dalam bukunya Goodbye, Things. Fumio menyingkirkan beberapa barang yang menghabiskan energinya untuk perawatan namun belum pernah dimanfaatkan. Butuh waktu yang cukup panjang untuk berpisah dengan barang-barang tersebut mengingat dibeli dari hasil upaya atau kerja. Setelah satu bulan dengan usaha kuat untuk menjalani hidup lebih baik, lebih berkualitas dan bahagia, Sasaki berpisah dengan berbagai barang yang tidak dimanfaatkan, menghabiskan energi dan waktunya. Suasana ruang hidupnya menjadi lebih terbuka, rapi dan bersih.
Terdapat banyak ruang digunakan menjalani aktivitas produktif, kebersihan kamar dan apartemen menjadi lebih baik, suasana hati dalam beristirahat menjadi lebih damai karena suasana yang lenggang dan bersih. Hasil dari usaha keras untuk hidup dengan barang secukupnya menunjukan rasa bahagia dan damai lebih meningkat. Perlu usaha keras memang, namun perlu diingat merasa lebih bahagia adalah konsekuensi logisnya.
Ketiga memiliki barang secara fungsional dan layak lebih baik daripada memiliki banyak barang karena simbol status dan hobi. Masa lalu menjadi cerminan hidup bersahaja dan tepat dalam pemanfaatan barang menurut Sasaki. Suatu barang atau produk harus menampilkan nilai guna yang dominan daripada status sosialnya. Ketepatan nilai guna mencerminkan barang itu menjadi bagian dari usaha yang baik dalam menjalani kehidupan. Fumio Sasaki memberikan beberapa kategori dalam memilih barang untuk kita.
Barang atau produk yang dipilih harus benar-benar dapat dimanfaatkan dalam kehidupan dengan jumlah yang cukup. Jangan membeli baju lebih, sepatu lebih, belajarlah untuk merasa cukup memiliki dua pasang sepatu berdasar atas manfaat dan kegunaanya. Pilihlah kualitas barang yang baik agar dapat digunakan dalam jangka waktu yang lama. Kualitas barang tercermin dari bahan yang baik, walaupun dalam pemakaian dengan intensitas tinggi barang akan dapat bertahan dalam jangka waktu panjang, dengan itu anda akan menghemat uang. Kategori berikutnya pilihlah barang dengan bentuk yang minimalis, mudah disimpan dan murah perawatan serta multi fungsi. Selain kualitas sederet kategori di atas menjadi penting karena akan memberikan ruang yang cukup dan menghemat energi kita dalam perawatan.
Ketiga langkah menurut Fumio Sasaki patut kita pertimbangkan dalam pacuan kehidupan modern yang seakan tanpa henti berlomba untuk menjadi terdepan, tercanggih, terbanyak. Buku Goodbye, Things memberikan kita waktu jeda sejenak untuk mengistirahatkan pikiran dan jiwa, memberi ruang yang luas serta refleksi diri. Apakah dengan memiliki banyak barang kita bahagia, atau menjadi orang yang memiliki cukup barang akan lebih bahagia.
Menjadi reflektif menuju sifat lebih kbijaksana, bahwa memilih ikut dalam pacuan kehidupan modern yang serba cepat, serba banyak? atau menjalani hidup dengan rasa cukup dan agak lambat namun merasa lebih banyak ruang untuk diisi dengan hal-hal menarik ?, terkadang kekosongan juga penting.
(Ida Bagus Made Satya Wira Dananjaya)