KEARIFAN LOKAL TRADISI TEK-TEKAN

DI DESA KERAMBITAN, TABANAN

Fitur kebangsaan Indonesia dapat diuraikan melalui semboyan “Bhineka Tunggal Ika”. Negara kepulauan dengan lebih dari 17 ribu pulau dan 5 ribu suku dan menyumbang seperenam bahasa daerah dari total bahasa daerah di Dunia menjadikan sumber daya manusia dibidang budaya sangat melimpah. Mulai dari rumah tradisional, bahasa daerah, kuliner daerah, mata pencaharian hidup sampai tradisi setempat.

Antropolog Inggris yang meneliti Asia Tenggara Anthony Reid (2010) menyatakan dengan rentang sejarah dan proses yang kompleks, proses asimilasi, difusi serta akomodasi, Indonesia menjadi wilayah penyimpan mozaik budaya Dunia. Lebih lanjut Denys Lombard (2019) dalam Buku “Nusa Jawa Silang Budaya” Indonesia melalui letak geografisnya yang startegis dalam perdagangan maritim di awal abad Masehi menjadikan wilayahnya sebagai pertemuan budaya dari lintas benua. Tidak berhenti sebagai wilayah perjumpaan budaya, kemampuan lokal pendudukan Indonesia dalam menyerap budaya asing dan memadukannya dengan karakter dan pola setempat sehingga menjadikan terciptanya budaya baru. Akulturasi adalah proses dari penyerapan budaya asing dan menyesuaikan dengan karakter lokal pertama kali dicetuskan oleh Antropolog Belanda Van Bosch. Wilayah-wilayah utama kepulauan Indoensia sejak masa sejarah tidak lepas dari perjumpaan dan persilangan budaya yang hingga kini memperkaya khazanah kebudayaan Indonesia.

Akulturasi hingga kini menjadi daya intrinsik bagi pembentukan struktur dalam di Indonesia sehingga sendi-sendi budaya lokal tetap terasa dan terlihat dekat dengan alam sekitar. Bali menjadi wilayah yang oleh banyak pengamat pariwisata telah menggambarkan kehidupan gaya lokal yang kental. Miguel Covarrubias pelancong Amerika keturunan Meksiko menuliskan dalam Buku “The Island Of Bali” pada tahun kedatangannya yang kedua yaitu 1928 menggambarkan Bali sebagai pulau dengan budaya yang unik, otentik serta magis. Tidak salah dalam menggambarkan kekayaan budaya Bali menjadi yang terdepan, Hickman Powell Jurnalis majalah perjalanan wisata ternama “Travels” Bali adalah penggambaran tanah nusantara kuno.

Tabanan adalah salah satu wilayah Bali yang sangat kental dengan budaya lokal yang bercorak agraris karena dulu terkenal dengan wilayah lumbung berasnya. Walaupun dewasa ini menjadi wilayah urban penyokong kota Denpasar dan Badung Tabanan tetap mempertahankan tradisi lokal yang bercorak agraris, salah satunya adalah di wilayah Kerambitan dengan tradisi Tektekannya. Tektekan merupakan bentuk kesenian tradisional masyarakat Kerambitan, Kabupaten Tabanan, yang dalam perjalannya telah mengalami banyak proses hingga menemukan bentuknya seperti sekarang ini. Kalau dilihat dari alat-alat yang digunakan dalam Tektekan ini sebagian besar dibuat dari bambu yang dimainkan sekitar 30-40 orang.

Ditinjau dari etimologi kata Tektekan berasal dari kata ”Tek”, dijadikan kata mejemuk menjadi tektek, ditambah dengan akhiran an menjadi tektekan. Ada ungkapan bahwa untuk memberi nama sebuah karya seni di Bali tidaklah sulit. Asal dapat diterima oleh masyarakat, soal nama bukanlah menjadi masalah. Berkaitan dengan Tektekan menurut informasi bahwa nama Tektekan merupakan ungkapan yang dipakai untuk menyebut sebuah kesenian yang didominasi oleh suara tek,tek,tek…., yang ditimbulkan oleh alat-alat yang digunakan. Sebatas dalam tahap interpretasi jika dibandingkan dengan pemberian nama jenis-jenis kesenian lain seperti tari Kecak, diperkirakan memiliki proses yang serupa.

Menurut informasi kesenian ini mulai muncul pada waktu warga Desa Kerambitan mengalami Grubug atau wabah (epedemi), atau menurut kepercayaan setempat jika ada seseorang disembunyikan oleh Gamang atau Samar (roh halus) maka diadakan nektek yaitu dengan memukul apa saja yang bisa menimbulkan bunyi, hal ini dilakukan disekitar tempat kejadian dan akhirnya oleh masyarakat orang hilang dapat ditemukan

Konon sekitar tahun 1920-an pernah terjadi wabah penyakit di masyarakat Desa Kerambitan yang mengakibatkan banyak menelan korban. Secara psikologis masyarakat sangat merasa takut apalagi dikaitkan dengan kepercayaan setempat bahwa itu terjadi karena ulah roh-roh jahat yang bergentayangan. Menurut ceritera setempat pada saat terjadinya wabah di malam hari sering terdengar suara yang aneh-aneh yang tidak biasanya mereka dengar, berjangkitnya wabah tidak bisa ditentukan kapan harus berakhir. Upaya masyarakat untuk memulihkan kondisi sediakala sekaligus untuk menghilangkan rasa takut, masyarakat akhirnya berinisiatif memukul alat-alat yang dapat menimbulkan bunyi yang keras seperti: kaleng, kuali, besi, cangkul dan sebagainya. Itu semua pada dasarnya bertujuan untuk mengusir wabah yang terjadi di masyarakat, sekaligus untuk membangkitkan rasa jengah, sehingga menghilangkan rasa takut  masyarakat akibat wabah yang terjadi di Desa Kerambitan.

Pada tahun 1930an wabah kembali terjadi. Hal ini kemudian ditanggulangi dengan kegiatan seperti tersebut di atas. Saat itu sudah ada pembaharuan yaitu dengan menggunakan bahan dari bambu yabg disebut dengan kulkul. Oleh karena perkembangan jaman kegiatan semacam ini dimasyarakat dipandang sebagai kegiatan yang berkaitan dengan nilai-nilai kepercayaan setempat. Mula-mula tujuan dari pementasan ini sebagai ucapan syukur kehadapan Tuhan Yang Maha Esa karena wabah penyakit telah berlalu. Kebiasaan nektekatau menabuh bumbung dilakukan apabila sedang merajelela wabah penyaki (epidemi). Selanjutnya dilihat dari Tektekan pada waktu itu sangat sederhana, mereka melakukan nektek secara spontan tergantung situasi dan kondisi masyarakat pada waktu itu. Kegiatan nektek oleh masyarakat dilakukan pada waktu sandikala (peralihan waktu dari sore ke malam yaitu sekitar pukul 18.30 Wita). Kegiatan ini biasanya dilakukan sampai pagi.

Menyinggung tentang kepercayaan itu maka masyarakat Kerambitan mentralisir keadaan dengan menggunakan tetabuhan yang akhirnya menjadi sebuah bentuk pertunjukan disebut dengan tektekan. Dilihat bahwa pada mulanya disebut tradisi nektek (memukul alat-alat apa adanya) ini merupakan aktivitas spontan masyarakat untuk menghilangkan perasaan takut, serta memohon keselamatan. Selanjutnya setelah tahun 1965 tektekan akhirnya menggunakan ceritera Calonarang yang disesuaikan dengan sifat awal terciptanya tektekan sebagai upaya pengusiran roh jahat yang berhubungan dengan bhuta kala kemudian dengan mengarak Barong dan Rangda mengelilingi desa, kegiatan seperti ini rutin dilakukan terutama pada hari pengerupukan yaitu sehari sebelum hari Nyepi dengan diikuti segenap warga masyarakat Desa Kerambitan.

Tektekan merupakan tradisi yang masih ditemui di tengah-tengah masyarakat kerambitan, dengan rentang perubahan jaman. Tektekan tidak hanya menekankan sisi estetis sebagai sebuah seni tetapi masih dianggap memiliki nilai-sosio-magis yang terkait dengan tradisi agraris. Kebersamaan para pemuda maupun tetua melantunkan irama nektek dengan satu tujuan yaitu menghidupkan irama magis untuk mengusir kekuatan negative Desa sehingga suasana Kembali kondusif adalah bagian dari perekat komunitas moral ala Durkheim.

            Sosiolog perancis pendiri Ilmu sosiologi Emile Durkheim menyatakan suatu ritual selalu bersifat social dan berfungsi sebagai perekat komunitas social yang terpecah sehingga mengingat Kembali komunitas moral sebagai masyarakat. Sehingga kegiatan yang dilakukan dengan melibatkan masyarakat dengan mengesampingkan tujuan senantiasa adalah definisi dari masyarakat itu sendiri. Tujuan sebagai modus social baru kemudian pada 1960an dijelaskan oleh Talcott Parsons. Menurut Parsons (dalam Jones, 2012:55) tujuan merupakan alas an dari terciptanya suatu komunitas yang telah berlangsung secara primordial dalam masyarakat, tujuan adalah “modus penggerak”. Dengan mengikuti Parsons melibatkan tujuan Bersama demi ketentraman Bersama adalah nilai social yang dipupuk untuk terbentuknya suatu komunitas.