RITUAL

(Formulasi Ruang, Waktu dan Tabu)

Menurut J.G Frazer manusia jaman pra-sejarah menggunakan ritual untuk memecahkan soal-soal hidup yang ada di luar batas kemampuannya yang kemudian berkembang menjadi kepercayaan religi. Robertson Smith menegaskan gagasan pertama mengenai agama selain keyakinan dan doktrin adalah juga ritual yang merupakan perwujudan dari religi. Penjelasan terhadap ritual dapat dimulai pada masa berburu-meramu tetapi lebih terpola pada masa pertanian intensif.

Tabu: Jejak Awal

Larangan mengkonsumsi binatang tertentu, seturut penyembahannya, adanya mukjizat, menjadi kepercayaan yang kental dalam kehidupan masyarakat. Benih-benih kepercayaan terhadap mukjizat, pengharaman dan penyucian hewan tidak saja dapat dijelaskan secara skriptual juga dapat dilacak secara antropologis. Meminjam gagasan Harris (2019) pelacakan terhadap masalah-masalah lapangan kehidupan masyarakat kuno sebagai misal kelangsungan pangan, kehidupan sosial, stratifikasi sosial, tempat tinggal atau lingkungan hidup menjadi cikal dari aktivitas ritual.

Harris (2019) memberikan gagasannya ihwal penyucian Sapi dan pengharaman daging babi karena alasan kelangsungan pangan, kehidupan sosial dan lingkungan hidup yang harus dipertahankan. Keberadaan Babi ditengah tanah pertanian yang dipenuhi sayuran memberikan dampak merugikan dan harus diatur keberadaanya, sebaliknya penyucian Sapi tidak lepas dari fungsinya bagi pertanian dan penghasil susu sehingga keberadaanya harus tetap dijaga. Harus dilakukan pengaturan yang cukup berpengaruh dan menginjeksi dimensi intrinsik manusia dalam rangka eksistensi kestabilan sumber daya.

Karakter Ruang dan Waktu

Pergeseran posisi lapangan kehidupan masyarakat dari masa berburu-meramu ke pastoral (domestifikasi hewan) ke holtikultura sampai pertanian intensif telah diketahui masih menyisakan jejak-jejaknya. Adopsi ritual sekelompok khusus masyarakat oleh kelompok lain pada dasarnya berhubungan dengan perubahan-perubahan sosial yang disebabkan oleh pergeseran-pergeseran ketegangan pada mode-mode produksi primitif (Utama, 2019). Pada kehidupan pastoral telah meminjam fitur-fitur mode produksi, ritual, kehidupan sosial dari era berburu-meramu, begitu seterusnya.

            Masyarakat berburu-meramu sesuai uraian Sahlins (2002), Sanderson (2012), adalah masyarakat sejahtera yang menganggap lingkungan hidupnya memiliki sumber pangan yang kaya dan berlimpah. Waktu produksi yang singkat dari kerja konvensional modern bahkan kehidupan era bertani intensif, distribusi pangan merata, dan waktu luang panjang, menjadikan gagasan tentang ruang dan waktu yang khas. Ruang dan waktu tidak absolut dan tidak obsesif, sehingga corak pandang kehidupan menjadi lebih ringan. Masyarakat memandang hidup adalah tentang masa lalu dan masa kini, tidak tentang masa depan. Waktu bagi masyarakat pemburu-pengumpul tidak dapat dihabiskan, diperoleh atau disimpan dan meskipun memungkinkan untuk menyia-nyiakan atau membuang waktu, waktu itu sendiri tidak bisa dibuang (Suzsman, 2021).

            Sebaliknya masyarakat petani menilai ruang dan waktu lebih terpola, obsesif, singkat (Suszman, 2021). Mereka harus menyelaraskan kerja dengan siklus reproduksi dan pertumbuhan tanaman dan ternak yang pada gilirannya selaras dengan lingkungan yang memberi mereka makan. Semua petani kuno hidup dalam belas kasihan musim dan iklim sehingga tersandera oleh kalender yang menentukan kelangsungan tanaman dan ternak. Ruang waktu sangat obsesif dan singkat karena terpola pada kerja menanam, menyiram, memupuk dan merawat dengan imbalan hasil panen di masa depan. Untuk menghasilkan panen diharapkan hidup dalam masa lalu, masa kini dan masa depan sekaligus yang berfokus pada pencapaian sebuah tujuan masa depan atau mengelola resiko masa depan berdasarkan masa lalu.

Paket prediktitabilitas inilah yang akan menentukan ritual yang lebih terpola sesuai dengan kalender kerja dan semua unsur yang mempengaruhinya, termasuk juga periode-periode kosong yang digunakan untuk hal-hal yang lebih bersifat kesenangan.

Ida Bagus Made Satya Wira Dananjaya