Kemunculan Fenomena “Bakso Haram”

Bakso Haram: Bentuk Perlawanan Esensialisme Identitas

Modernisme merupakan gerakan intelektual yang terkenal dengan narasi besar dalam menafsir fenomena sosial. Dari determinisme ekonomi, rasionalitas dan versthen milih Max weber, sampai pada kampaye pembentukan identitas diri yang disebut esensialisme.

Pembentukan identitas diri yang esensial menyatakan bahwa diri dibentuk oleh patokan atau sebuah pakem. Identitas jawa dibentuk oleh piranti yang menunjukan ke-jawa-annya, identitas sunda dibentuk oleh didasarkan atas apa yang menunjukan ke-sunda-an atau yang berciri khas Sunda. Singkatnya identitas memiliki pakemnya yang telah dibawa.

Seiring perjalanan intelektual di Inggris dan Jerman pemikiran kritis telah banyak menyatakan sikap skeptis terhadap pemikiran modernisme. Pada awal 1970-an muncul pemikiran post-modernisme yang menyatukan pemikiran yang majemuk dan tidak terpaku pada satu penjelasan untuk menafsir seluruh fenomena sosial.

Dalam pembentukan identitas diri esensialisme mendapatkan perlawanan, pernyataan atas pembentukan identitas diri dari kekhasan yang dimiliki mulai diragukan. Identitas diri tidaklah “mati” dalam kekhasan yang dimiliki. Identitas bukan merupakan pembentukan baku (esensi) atau minimalisme tetapi kaum postmodernisme menganggap identitas tidaklah dibentuk dari kekhasan dan baku, tetapi dapat bergeser, berpindah dan nomadik atau pluralisme.

Kaum minimalisme menganggap identitas bersifat tetap sehingga muncul wacana kematian identitas, sedangkan kaum pluralisme menyatakan identitas bersifat nomadik. Dalam konteks Bali identitas di Bali mengikuti pola laku pluralisme.

Minimalisme dan Esensialisme

Tidak sedikit di Bali menemukan tanda disebuah warung bertuliskan “Warung Jawa” atau kata yang lebih sensitif yaitu “Warung Muslim”. Tidak seperti kasus “Warung Padang” yang berada hampir di seantero Dunia, karena dibarengi dengan suku pembentuk warung padang merupakan suku yang mempunyai kaliber sangat tinggi dalam hal merantau, “Warung Jawa” ataupun “Warung Muslim” memiliki kasus yang berbeda.

Maksud dari penulisan dua pelakat warung tersebut apabila kita simak dapat diberikan paling tidak tiga argumen;

Pertama kata “Warung Jawa” atau “Warung Muslim” merupakan sebuah penegasan akan identitas atau esensialis identitas pemilik warung dari jawa atau beragama islam yang merupakan suku terbesar di Indonesia dan agama terbanyak yang dipeluk di Indonesia, artinya penegasan identitas sebagai mayoritas di pulau orang yang beragama lain tetapi minoritas dalam bingkai negara kesatuan, begitu juga dengan kasus Warung Mie Ayam Solo atau Bakso Arema, kebanggaan akan identitas sebagai Jawa dan Muslim melandasi pelakat tersebut.

Kedua, dengan ditegaskannya identitas jawa dan muslim yang agaknya ada beberapa paradoks dengan Bali dan Hindu maka  pelanggan yang dipersuasi dengan pelakat Jawa dan Muslim adalah mereka orang jawa dan beragama islam karena orang Bali dan Hindu makan daging Babi sedangkan orang jawa dan Islam tidak.

Ketiga, potensi ekonomi “Warung Jawa dan Warung Muslim” di Bali sangat besar karena masyarakat suku jawa adalah pendatang terbanyak di Bali yang tentunya dapat dikatakan mayoritas beragama islam. Bali pulau yang mungil tetapi dengan potensi ekonomi yang besar banyak menarik perhatian bagi masyarakat di Dunia dari berbagai tingkatan untuk membuka usaha di Bali ditambah dengan sikap super welcome.

Kondisi pantai Kuta Bali

Ditengah kebyar perayaan identitas jawa dan muslim di Bali dalam beberapa tahun belakangan ada sebuh gejala perlawanan yang dilakukan terhadap “warung jawa dan warung muslim” dengan menggunakan atau lebih tepatnya mencuri label identitas jawa dan muslim, yaitu perkembangan “Bakso 100% Haram” yang tentunya kita tahu menggunakan daging babi.

Disebut ‘mencuri” karena kita mengetahui bahwa Bakso merupakan makanan yang kita kenal dari pedagang jawa yang secara umum menggunakan daging ayam atau sapi yang halal bagi orang muslim, namun orang bali “mencuri” baksonya kemudian diharamkan.

Bakso yang halal diharamkan bakso yang milik jawa dan muslim di–Bali-kan atau di-Hindu-kan. Menjungkirbalikkan identitas yang sebenarnya bagi orang Bali dikenal paten yaitu pedagang bakso pasti jawa yang berarti pasti muslim lalu dijungkir balik menjadi pedagang bakso 100% Haram bukan jawa dan bukan muslim.

Selain terjadi pertarungan lahan ekonomi tetapi juga menjadi pertarungan identitas, namun pertarungan identitas tidak terkesan klimaks karena hanya menggunakan identitas haram, mungkin harus dilengkapi dengan “Warung Bakso Bali 100% Haram” sebagai penegasan.

Adanya reaksi dari masyarakat Bali terhadap membludaknya Warung Jawa dan Warung Muslim terlepas dari faktor ekonomi dapat diberikan dua argumen sebagai landasan teoritik;

Babi

Pertama, masyarakat Bali telah merasakan menjadi minoritas identitas di pulau sendiri, dengan tidak asingnya terasa warung jawa dan warung muslim timbul sebuah presur identitas, ketertekanan terhadap identitas Bali semakin merapat, dan sedikit mempunyai ruang (hanya warung babi guling) untuk mengekspresikan identitasnya yang kecil di pulau kecil sebagai masyarakat yang kecil (minoritas secara kuantitas).

Kedua, bakso babi 100% haram merupakan sebuah ajang yang dapat dikatakan “balas dendam” karena orang non-bali juga telah mencuri identitas bali yaitu berdagang Canang. Jadi orang non-Bali dagang canang maka orang Balipun sekarang ada dagang bakso. Saling meminjam esensialisme identitas menjadi lumrah karena ditunjang faktor profit, keuntungan yang besar demi memenuhi kebutuhan hidup walaupun harus mencuri identitas yang esensial.

Bakso (ayam, sapi) yang dulunya adalah jawa, kemudian jawa adalah muslim sudah ditentang oleh bakso 100 persen haram. Identitas esensial yang ditemukan dalam bakso yang merupakan jawa dan muslim tidak lagi paten karena bakso dapat juga berarti orang bali yang juga hindu dan utamanya baksonya daging babi.

Anti-esensialisme

Ketika terjadinya program transmigrasi tahun 1950-an dan mobilitas penduduk begitu lincah seakan esensialisme identitas makan pudar. Berpakian ala jawa katakanlah memakai blangkon tidak menunjukan orang jawa atau muslim begitu juga apabila memakai peci.

Identitas tidak lagi hanya dapat dilihat dari gaya berpakaian, bahasa, karena sering kali hanya menjadi alat komunikasi semata bukan sebagai pengukur identitas. Perlawanan terhadap esensialisme identitas mungkin hanya dapat kabur dalam bidang profan bukan dalam ranah sakral. Belum terlihat ada orang ke pura menggunakan peci dan baju koko atau sebaliknya ke masjid mengginakan kebaya dan kamen.

Bakso haram yang merupakan tidak hanya kebangkitan ekonomi masyarakat bali tetapi juga kebangkitan identitas bali. Hal ini juga menjadi pemicu leburnya politik identitas “kita” dan “mereka”. Tidak hanya “mereka” (orang jawa, islam) yang berjualan bakso tetapi “kita” (orang Bali, Hindu) juga berjualan.

Bakso tidak hanya daging ayam tetapi juga daging babi. Dapat dikatakan fenomena ini sebagai demokratisasi identitas, atau perlawanan terhadap esensialisme identitas.

Penjual Bakso Babi

Kita tidak lagi dapat memandang secara jernih bahwa suatu objek dapat menentukan identitas seseorang blangkon belum tentu menunjukan orang jogja, namun kita dapat mengetahui bahwa blangkon dari jogja.

Bakso tidak lagi dapat dipandang sebagai determinasi orang jawa, canang tidak lagi dijual oleh orang Bali. Satu yang paling esensial dan tidak mungkin dapat dilawan adalah, warung daging babi guling pastilah asli identitas orang Bali yang Hindu dan akan sangat mustahil kita temukan bila kita membalikkannya dengan jawa.

Maka agama dapat mempertahankan esensialisme identitas, agama memberikan imun kepada salah satu identitas terutama identitas keagamaan. Bakso haram pastilah daging babi, daging babi pastilah penjualnya orang bali dan orang Bali yang menjual bakso haram pastilah Hindu karena dalam agama Hindu tidak ada larangan menjual atau mengkonsumsi daging babi bahkan secara ekonomi babi merupakan produk yang menjanjikan di bali.

Jadi dalam dimensi profan identitas dapat saling dipinjam dan dilawan namun dalam hal yang sakral identitas akan tetap kokoh, hal ini terkait dengan nilai yang lebih tinggi yang disematkan pada agama atau mungkin ketakutan akan dosa-dosa apabila melawan identitas esensial pada agama. Seperti pernyataan Feurbach Manusia memandang dirinya rendah, penuh dosa dan lemah dan menempatkan hal-hal yang supra, sempurna dan mulia pada Tuhan