ANEKA NYEPI DI BALI

Menggali Spriritualitas Tradisi Agraris

Nyepi yang telah dilaksanakan secara serentak di Bali melalui kerjasama PHDI dan Pemda Bali tahun 1973 merupakan nyepi yang paling umum diketahui oleh masyarakat Bali, terlebih telah menjadi libur nasional sejak tahun 1983.

Nyepi yang beragendakan penerapan catur brata penyepian.

Amati Gni, tidak menghidupkan api

Yang dalam konteks kontemporer menjadi tidak menyalakan lampu, menghidupkan kompor, serta segala yang mengandung api.

Amati karya, tidak bekerja.

Dalam impelemtasinya yaitu menutup seluruh aktivitas perkantoran kecuali kesehatan.

Amati lelungan, tidak bepergian.

Secara empirik dapat dicermati yaitu sepinya jalan raya bahkan akomodasi pariwisata yang tertutp total,

Terakhir, Amati Lelanguan, tidak bersenang-senang.

Tergambar dari tidak adanya hiburan yang diijinankan beroprasi, keempat agenda itu sesuai dengan naskah Sunarigama.

Sebagaimana kondisi Agama terorganisasi, teks suci merupakan sumber skriptual utama bagi penentuan kebijakan dalam beragama, kebijakan tersebut kemudian didistribusikan oleh elit kepada masyarakat.

Bali merupakan masyarakat yang masih kental dengan tradisi agraris, mengacu pada Giddens, sedikitnya ada tiga unsur dalam mempertahankan tradisi yaitu memori kolektif, adanya penjaga dan ritual.

Dengan itu tradisi sepenuhnya bersifat anonim serta milik bersama.

Memori kolektif memberikan ingatan-ingatan masa lalu yang aktual atau menjadi refrensi menghadapi kehidupan masa kini, masa lalu tidak ditinggalkan tetapi dijadikan acuan untuk membentuk masa kini, penjaga adalah para orang tua, intelektual dan akademisi yang mempertahankan tradisi, ritual adalah aktifitas repetitif dilakukan untuk mengingatkan para pewaris budaya tentang keagungan tradisi.

Terkait dengan Nyepi di Bali, tradisi nyepi tidak hanya hari suci yang diakui secara nasional namun terdapat beberapa nyepi di  Bali. Mengacu pada tulisan Sugi Lanus terdapat tiga tradisi nyepi di Bali yaitu nyepi Abian (sehari dilarang ke kebun), Nyepi Subak (sehari sampai 3 hari dilarang bekerja di sawah), Nyepi Desa (beberapa desa merayakan ruawatan khusus setelahnya tidak boleh ada aktivitas di desa bersangkutan).

Krama Subak Abian di Desa Belatungan, Tabanan, memilik ‘Nyepi Abian’ yaitu tidak melakukan aktivitas pertanian, atau semua petani pantang datang bekerja ke kebun selama satu hari penuh. Nyepi Abian merupakan rangkaian ‘Upacara Nyiwi’ yang di Pura Subak yang ada di desa setempat.

Nyepi Subak

Sebagai persyaratan setelah Upakara Metabuh harus ada sehari Nyepi

Desa Pakaraman Bangal Kecamatan Selemadeg Barat Kabupaten Tabanan melaksanakan ‘Nyepi Subak’ karena merupakan persyaratan setelah ‘Upakara Metabuh’ harus ada sehari Nyepi. ‘Tabuh’ adalah upakara ruwat sekaligus memohon kesuburan pertiwi. Nyepi Sawah di Krama Subak Desa Jatiluwih, Kecamatan Penebel, Kabupaten Tabanan, kalau tidak salah, disebutkan ada dua versi.

Jika petani menanam padi Bali yakni padi beras merah, krama melaksanakan Nyepi selama tiga hari. Sebelum Nyepi, digelar upacara ‘Nangluk Merana’. Jadi ‘penyepian’ adalah persyaratan dari Upakara Nangkluk Mrana (memohon terbebas dari hama). Warga dan petani dilarang masuk areal persawahan atau subak.

Nyepi Desa di Desa Pakraman Kintamani adalah rangkaian dari pujawali di Pura Dalem Pingit Desa Pakraman Kintamani. Nyepi Desa ini menjadi momentum penyucian desa dengan mengajak semua warga desa tidak berpergian ke luar desa dan berdoa sepanjang hari Nyepi Desa.

Tiga desa pakraman di Karangasem (Desa Pakraman Tanah Ampo, Manggis, Karangasem dan Desa Datah) melakukan penyepian desa terkait ‘Ngusaba Segeha’ serta ‘Ngusaha Dalem’ di ketiga desa itu. ‘Ngusaba’ tersebut adalah upakara penyucian desa dari segala macam hal buruk. Desa Banyuning, Buleleng, melakukan penyepian sehari setelah Upakara Pecaruan di Catus Pata Desa Banyuning.

Ditutup selama sehari.

Desa ditutup selama sehari sekalipun jalan nasional masih diijinkan dilewati kendaraan, namun krama atau warga setempat melakukan Catur Brata Penyepian: Amati geni (tiada berapi-api atau tidak menggunakan dan atau menghidupkan api), amati karya (tidak bekerja), amati lelungan (tidak bepergian), dan amati lelanguan (tidak mencari hiburan).

Ilustrasi beberapa Nyepi di atas mengisyaratkan tradisi yang telah dan tengah berjalan memiliki kesamaan gagasan yaitu sebuah ruang kontemplatif dan keharmonisan. Adanya upakara dan upacara pecaruan guna mengharmonisasi bhuana dalam menghadapi masa puasa, masa pengosongan, masa sipeng.

Upakara

Upakara adalah salah satu unsur magi yang masih tetap dipertahankan kendati dewasa ini maknanya telah digeser, terdapat pengharapan terhadap suatu kekuatan diluar kendali manusia, harapan itu adalah keharmonisan hubungan bersifat vertikal.

Kehidupan yang harmonis akan melahirkan keadaan tenang, dayuh, tentram, dengan ketenangan dan ketentraman keniscayaan ruang kosong itu adalah suatu keadaan yang damai mendengar suara-suara alam mengosongkan hiruk-pikuk keseharian dan mengarah pada esensi hidup merenung tentang imortalitas sebagai sumber. Dengan terlebih dahulu mengosongkan maka keadaan berikutnya adalah mengisi kembali. Ini merupakan spiritualitas tradisi agraris di Bali.