Tradisi Nungdung di Desa Sukawana

Bali merupakan wilayah yang menarik tidak hanya bagi wisatawan, juga para seniman Dunia. Pulau yang berukuran kecil (mirip ayam jago) ini oleh beberapa penulis baik sejak era kerajaan sampai kolonial telah memiliki catatan tersendiri dan istimewa. Sebut saja Adrien Jean Le Mayuer, Walter Speis, Antonio Blanco, Arie Smith, dan seorang pelukis Miguel Covarrubias. Dalam buku “The Island Of Bali” Covarrubias menulis liputan perjalanan keduanya ke Bali dengan detail dan penuh kekaguman.

Dilanjutkan kemudian oleh para penulis bernuansa akademis yang ingin membedah ragam kehidupan masyarakat Bali mulai dari kehidupan sosial, politik, keagamaan, sejarah dan budaya. Penelitian terhadap masyarakat Bali tidak terbatas pada masyarakat pesisir dan dataran, pada masyarakat pegunungan yang tetap memegang teguh perangkat budaya leluhur dan sedikit tersentuh pergulatan kerajaan-kerajaan yang ada di Bali daratan.

Peneliti semisal V.J. Krom yang fokus pada temuan arkeologis pra-historis, James Dananjaja meneliti masyarakat Trunyan dari sisi upacara daur hidup, serta tari barong brutuk. Thomas A. Reuter dalam buku berjudul “Custodians Of The Sacred Mountains” mengulas beberapa desa dekat batur yang tetap menjaga tradisi kuno dalam tema sosial-keagamaan. Desa Sukawana adalah salah satu Desa yang dijelaskan oleh Reuter dengan sistem Banua, dan ragam tradisi kuno yang khas masyarakat pegunungan. Salah satu yang jarang mendapat perhatian secara dalam adalah Tradisi Nungdung.

Tradisi Nungdung dilaksanakan pada saat puncak Ngusaba Posa atau Ngusaba Dalem (sekitar bulan Januari). Nungdung adalah analogi dari bunyi dua potongan bambu yang dibenturkan ke tanah atau lantai sehingga berbunyi dung-dung, diiringi dengan nyayian dari masyarakat Desa Sukawana. Nungdung dilakukan di areal Pura Pamosan, Adapun lirik dari nyayian Nungdung,

Meme Jra, Meme jra, Mebanten sumping keladi,                                                                 Nyen teka, nyen teka uli kaja mebunga pucuke gading,                                                        Apa runtutanane tabuh genggong warga sari

Terjemahannya:

Meme Jra, Meme Jra Mebanten (persembahan) Kue Nagasari (dari ketela),             Siapa yang datang, siapa yang datang dari utara,  dengan bunga pucuk gading, Apa runtutannya, tabuh genggong wargasari.

            Sambil membenturkan dua potong bambu (jenis Tiing Tamblang) dengan nada tertentu, menyayikan lirik lagu tersebut secara berulang-ulang. Nungdung selain di areal Pura pamosan juga dilakukan di areal rumah atau gang rumah masyarakat Desa. Nungdung dilantunkan penuh suka cita oleh mesyarakat Desa Sukawana yang bertujuan menyambut kedatangan Dewa Pitara atau leluhur.

Tafsir Awal

            Kapan tradisi Nungdung pertama dilaksankan tentu menjadi ulasan menarik untuk diuraikan, namun minimnya jejak sejarah menjadi kendala tersendiri, terlebih tradisi yang hidup dimasyarakat bersifat anonim dan mengalir serta variatif. Menarik untuk memunculkan sebuah tafsir awal ihwal tradisi nungdung, dengan mengambil Gagasan Jakob Sumardjo dan Danasasmita terkait signifikansi pertunjukan pantun dalam kehidupan religi masyarakat Sunda dan keterkaitannya dengan konsep Agama Asli, Tantra dan Mandala.

            Aliran tantra masuk ke Indonesia pada awal abad ke-11 di kerajaan Sriwijaya, oleh pendeta Attica dari Universitas Wikramasila. Aticca tinggal selama 12 tahun mengajarkan aliran Kalacakra, aliran ini kemudian menyebar sampai ke Jawa di Kerajaan Singhasari pada zaman Kertanegara karena kedekatan hubungan kekeluargaan dengan Sriwijaya. Mengingat Raja Sunda Darmasiksa (1175-1297) beristri putri Sriwijaya, dapat diduga menjadi pintu masuk aliran tantranya ke Kerajaan Sunda. Karena pantun merupakan seni cerita bertutur yang mengandung unsur tantra, dapat diduga pantun diciptakan di kerajaan Sunda pada awal abad ke-13.

            Perjalanan budaya Sunda secara diakronik membawa perubahan-perubahan dalam seni pertunjukan pantun, umumnya cerita pentun berkisar pada jaman kerajaan Galuh dan Padjajaran. Saleh Danasasmita menyatakan kuatnya aliran tantra-budha di Padjajaran seperti terlihat dalam naskah-naskah siksa kendang karesian dan carita parahyangan, juga dalam prasasti Cibadak jelas manampakan aliran wajrayana. Sebuah Bukit punden di Ciampea Bogor terdapat Batu yantra yang merupakan mandala untuk semadi kaum wajrayana.

            Apakah ada keterhubungan antara budaya cerita pantun Sunda dengan tradisi Nungdung yang tercatat ada di wilayah pegunungan yang masih menjaga keaslian tradisinya. Tulisan ini tidak untuk menjawab kegundahan tersebut, namun lebih pada titik kelindan antara tradisi cerita pantun dengan pengaruh tantrisme, mandala terhadap budaya asli dalam tradisi Nungdung.

            Lirik awal yang berbunyi “Meme Jra, Meme jra, Mebanten sumping keladi” menandakan kepercayaan kuno tentang pemujaan terhadap kesuburan. Ungkapan “meme” secara hermeneutik tidak hanya dapat ditafsirkan sebagai tugas seorang Ibu (perempuan) dalam mempersembahkan banten berupa sumping keladi kepada Hyang Leluhur atau Hyang Adikodrati. Meme menguraikan perempuan sebagai sumber kesuburan itu sendiri, Reuter pernah mencatat di beberapa wilayah pegunungan di Bali peran perempuan sebagai pendeta atau penyelesai upacara sangat vital karena terkait dengan permohonan terhadap kesuburan tanah. Ketela atau keladi adalah umbi-umbian, yang tumbuh di dalam tanah, sehingga peran meme selain sebagai yang mempersembahkan upakara berupa kue nagasari juga sebagai simbol yang ingin dituju yaitu kesuburan tanah.

            “Nyen teka, nyen teka uli kaja mebunga pucuke gading” kaja atau utara merupakan arah Pegunungan, koordinat yang menunjukan dari mana Hyang leluhur akan datang dengan bunga khas penyambutan bunga pucuk berwarna gading. Koordinat dimana titik pusat pemujaan, kesucian dan pusat kesuburan. Apa runtutanane tabuh genggong warga sari, runtutan penyambutan kehadiran Hyang Leluhur adalah tabuh genggong atau musik surgwi, dan nyayian-nyayian suci atau wargasari.

            Analog dengan mandala yang khas masyarakat egaliter (Desa Sukawana yang tidak terbagi atas soroh dan wangsa) mandala tiga dari nyayian nungdung tiga baris (Masyarakat-Lingkungan-Hyang Leluhur atau Adikodrati) segaris dengan pandangan Y. Bcelaars dan Sumardjo sebagai perpaduan antara mentalitas ladang dan sawah. Bcelaars mencatat masyarakat yang egaliter atau tidak mengenal titik pusat, pentingnya lokalitas sebagai sebuah universe atau dunia tempat tinggalnya yang suci, pentingnya peran perantara, pentingnya tanah, serta sikap kekeluargaan yang kental terhadap sikap sosial-religius. Pentingnya lokal.nya sebagai dunianya yang utuh adalah sikap yang dijunjung oleh masyarakat serta peran leluhur terhadap seluruh aspek kehidupannya.

            Aspek tantrisme dibaca dari peran perempuan dalam sistem pemujaan atau sakti. Aspek feminism Dewa atau Hyang leluhur sebagai pusat pemujaan atau peran perempuan dalam sistem ritual adalah khas tantrisme, juga dunia sebagai mandala yang terstruktur dari kehidupan sosial masyarakatnya (Tetua desa-masyarakat-leluhur atau lingkungannya). Masyarakat, alam lingkungan dan Hyang leluhur menempati berada dalam posisi tertentu dimana ketiganya adalah pusat dan suci.

            Baris pertama menunjukan masyarakat sebagai pemuja dengan melakukan persembahan guna mendapatkan kesuburan. Baris kedua menampnyiratkan alam lingkungan sebagai wahana Hyang leluhur yaitu Gunung dan segala anugrahnya. Baris ketiga adalah Hyang leluhur atau Hyang adikodrati yang bersifat surgawi. Jadi Nungdung adalah nyayian sambutan kepada Hyang Pitara atau leluhur yang telah suci untuk memberikan anugrah kepada alam lingkungan berupa kelestarian dan kesuburan sehingga dapat dimanfaatkan oleh manusia dengan arif.

Ida bagus Made Satya Wira Dananjaya