Melasti sebagai Bhakti

Ida Bagus Made Satya Wira Dananjaya

            Menjelang hari suci Nyepi selalu di dahului oleh upacara melasti atau Mekiis yang harinya dapat berbeda disetiap daerah. Upacara melasti atau mekiis dikaitkan dengan sumber air, baik pantai atau beji, sebagai tempat berlangsungnya upacara. Teks Sunarigama menyuratkan secara teknis prosesi melasti dilaksanakan dengan penyucian berbagai bentuk pratima yang menjadi lambang Tiga Wisesa yang terdapat di Pura Kahyangan Tiga dengan maksud memusnahkan kesengsaraan dunia, memohon anugrah kepada Hyang Baruna dan termusnahnya penderitaan dan kecemaran dunia lebur di tengah laut. Teks Aji Swamandala kembali mempertegas secara metafisis tujuan upacara melasti yaitu ngiring prawatek dewata (mengiringi berbagai simbol Ida Sang Hyang Widhi), angayutaken laraning jagat (menghayutkan penderitaan di Dunia), angayutaken papa klesa (menghayutkan segala dosa dan kekotoran diri), angayutaken letehin bhuana (menghayutkan kekotoran di Dunia).

            Upacara melasti didekati dari perspektif psikologi Agama yang digaungi Glock dan R Stark tidak sekedar ritual buta tanpa makna tetapi dapat dilihat dari ragam dimensi. salah satunya dapat dikonsepsikan sebagai kristalisasi sikap bhakti terhadap kekuatan adikodrati atau penguasa alam semesta. Reaksi terhadap kekuatan tersebut membawa manusia kedalam dua prilaku kultural, pertama keinginan manusia dalam menjalin kerjasama dengan kekuatan adikodrati dalam mencapai kehidupan yang diinginkan. Kedua, konsekuensi praktis dari sikap pertama mengharuskan manusia melakukan tindakan-tindakan simbolis dalam memenuhinya. Berangkat dari keangkuhan manusia melalui keinginannya untuk menguasai alam dibentengi oleh rahasia-rahasia dan kekuatan alam yang seakan tidak terhingga dan penuh rahasia. Keterbatasan yang disandang manusia dalam menyingkapi rahasia alam dan Tuhan membuatnya harus melakukan kerja sama terhadap daya-daya yang tidak terungkapkan, tersembunyi dan tidak tertandingi. Konsep Gaib dalam terminologi Antropolog Frazer menggariskan adanya persepsi dari daya alam dan kehidupan lain yang tidak tampak namun memiliki pengaruh signifikan dalam bagi manusia.

Keinginan untuk membentuk kehidupan yang diinginkan, mensyaratkan lepasnya daya angkuh dan menerima keadaan kerdil manusia dibandingkan dengan alam dan kehidupan lain. Syarat itu menjadikan manusia sebagai sosok pemuja, pemohon, penuh kasih dan lembut sesuai dengan konsep Bhakti dalam ajaran Bawabhakti. Aktualisasi dan implementasi sikap bhakti ditujukan dengan tindakan-tindakan simbolis. Manusia sebagaimana Cassier adalah animal symbolicum. Tindakan manusia dalam memunculkan reaksi atau untuk menunjukkan suatu sikap selalu disertai tindakan simbolis. Reaksi manusia terhadap gejala  yang diterima atau sikap yang ingin ditunjukan tidak muncul secara instingtual namun reflektif, yaitu tedapat penundaan reaksi sebelum melakukan aksi, penundaan yang reflektif inilah disebut tindakan simbois. Manusia selalu melakukan ragam aksinya melalui tindakan simbolis, sikap bhakti dilakukan dengan tindakan simbolis berupa ngiring Ida Bhatara (dalam bentuk pratima) ke sumber air dengan tujuan kehidupan yang suci dan harmonis.

Sementara itu, dalam memperteguh dan melanggengkan keinginan tersebut manusia melegitimasinya dalam bentuk ritual dan dalam bentuk narasi sehingga memunculkan berbagai mitos. Ritual memberikan bentuk sakramen (upacara sakral), maka mitos memberikan wajah fundamen (sebagai dasar asumsi). Mitos dan ritual memberikan garansi kekokohan tradisi yang terjaring dalam tiga elemen tradisi yaitu memori kolektif, penjaga tradisi dan ritual. Memori kolektif mengingat kembali jasa masa lalu dalam membentuk suatu kaidah-kaidah kehidupan kontemporer sehingga terdapat harmoni (dilegitimasi oleh mitos), sementara penjaga tradisi adalah manusia yang selalu aktif mencari makna kehidupan baik melalui tradisi maupun ilmu pengetahuan, terakhir ritual adalah cara efektif dalam menampilkan kembali tradisi serta meneguhkannya kembali.