
Agama: Telaah Teoritis Dalam Tindakan Sosial
Menengok karakteristik dasar eksistensi manusia, menurut Gabriel Marcel manusia selalu dalam keadaan ketidakpastian, manusia selalu menemui keterbatasan dalam setiap kondisi hidupnya, manusia selalu berada di tengah-tengah kondisi kelangkaan, dan secara psikologis menurut Fromm manusia secara dasar sejak kelahirannya berada dalam posisi terasing dari akar kehidupannya yang nyaman, aman, dan tentram.
Ilmu pengetahuan, teknologi, dan kesenian telah dikembangkan, dilembagakan dan dipraktikkan dalam rangka menjawab keadaan-keadaan tersebut.
Perubahan-perubahan sepanjang jaman baik dalam Ilmu Pengetahuan, Teknologi dan kesenian telah membentuk masyarakat menurut periode-periode tertentu, dengan hasil yang begitu mencengangkan, penemuan-penemuan dengan hasrat menangkap hukum-hukum alam dari segala lini, baik kimia, biologi, sosiologi, ekonomi dilakukan secara massif dan bergairah.
Manusia telah bergerak begitu cepat untuk memuaskan rasionya tentang dirinya dan hukum-hukum yang berlaku di alam sekeliling tempat tinggal, bahkan kecenderungan tentang tempat lain, yaitu planet-planet diangkasa luar telah berkembang sejak awal millenium.
Namun, rasio tidak serta-merta dapat memuaskan atau menjawab seluruh persoalan yang dihadapi manusia, tentang ketidakpastian, keterbatasan, kelangkaan dan keterasingan.
Parade kehidupan modern yang konon terbangun dan tertata dengan akal sehat, dan gebyar perayaan pemenuhan hasrat atas materi-materi yang lahir dari teknologi modern, menyisakan suatu perangkat diluar bingkai Ilmu Pengetahuan dan cenderung bersifat asketik yang oleh Amstrong (2010) masih sangat kuat tertanam, dan mungkin masih memiliki masa depan yang cerah, yaitu Agama.
Agama menjadi perspektif bagi manusia untuk memahami makna dari keberadaannya, keberadaan alam semesta, relasi antara dirinya dan alam semesta yang ditinggalinya sekaligus menjawab kompleksitas problematika kehidupannya.
Sebagai suatu cara pandang prihal menjawab kompleksitas kehidupannya, agama memiliki keunggulan yaitu sebagai perangkat iman yang mampu membathin dan terkadang melampaui rasio, fungsi tersebut yang oleh Parsons disebut sebagai fungsi laten yaitu sebagai suatu tatanan ide, nilai-nilai gagasan dan moralitas.
Konsep surga dan neraka bahkan keabadian, moralitas privat dan publik, kesucian serta pengabdian menjadi semacam “produk unggulan” agama yang sangat sentral dan mampu menandingi produk-produk rasio serta mampu memasuki bathin terdalam manusia, sampai disini Agama dikatakan memiliki dimensi kultural dalam perspektif fungsionalisme struktural. Sehingga Agama secara normatif dan performatif (berbagai bentuk ritus dan maknanya) terlalu jauh dari kesan menyeramkan, menakutkan, serta seakan tidak mungkin menjadi pemicu kejahatan.
Telaah Teoritis Agama dalam Tindakan Sosial

Menurut Bellah (2000:3) ada tiga tipe utama kajian agama yang dilakukan oleh para sosiolog;
- Agama sebagai persoalan teoritis dalam memahami tindakan sosial,
- Agama dalam kaitannya dengan aspek-aspek kehidupan manusia,
- Pergerakan kelembagaan agama secara organisasional.
Menelaah agama sebagai suatu perangkat nilai, gagasan, moralitas yang tumbuh berkembang serta berlaku sebagai resep tingkah laku akan mendarat pada fungsi-fungsi agama secara sosial atau merupakan pembahasan terhadap tipe pertama dari pengolongan kajian agama Bellah.
O’Dea (1985) paling tidak menyatakan adanya enam fungsi agama:
6 Fungsi Agama
- Agama mendasarkan pada sesuatu yang di luar jangkauan manusia yang melibatkan takdir dan kesejahteraan, menyediakan bagi pemeluknya pelipur lara dan rekonsiliasi. Manusia membutuhkan dukungan moral disaat menghadapi ketidakpastian, kekecewaan dan rekonsiliasi dengan masyarakat bila diasingkan dari tujuan dan norma-normanya.
- Agama menyediakan hubungan transedental melalui upacara dan pemujaan yang mampu memberi dasar emosional bagi rasa aman serta identitas yang kuat.
- Agama menyucikan norma-norma dan niali-nilai masyarakat yang telah dibentuk, sehingga memposisikan dominasi tujuan kelompok di atas tujuan individual.
- Agama juga mempunyai fungsi untuk mengkaji kembali nilai-nilai dan norma-norma yang telah terlembaga bila memang masyarakat membutuhkannya.
- Agama melakukan fungsi-fungsi identitas yang penting, melalui peran serta manusia dalam ritual dan doa, sehingga mereka melakukan unsur-unsur signifikan yang ada dalam identitas.
- Agama bersangkut paut dengan pertumbuhan kedewasaan individu, dan hidup melalui tingkat usia yang ditentukan oleh masyarakat.
Telaah 6 Fungsi Agama
- Fungsi pertama ingin meyakinkan manusia tentang kekuatan absolut yang melekat pada Tuhan tentang segala bentuk hasil perbuatan manusia sebagai maha pengatur atau maha penentu, sehingga manusia mendapatkan jawaban tentang pertanyaan eksistensial-transendental tentang hiruk-pikuk kehidupan di dunia fana.
- Fungsi kedua, Agama memberi perasaan aman dan harmonis baik secara personal maupun sosial melalui berbagai tindakan simbolik baik yang dikenal dengan ritual keagamaan (berdoa, meditasi, sembahyang, dll).
- Fungsi ketiga menekankan pada penyucian norma-norma, nilai-nilai dan tradisi yang telah dijalankan di Masyarakat, penguatan dilakukan dengan adanya energi tambahan dari agama yaitu tentang keberadaan arena trans baik surga maupun neraka untuk tetap menjaga moralitas publik di ruang sosial. Dipihak lain agama juga dapat menjadi piranti teoritik untuk melakukan transformasi nilai-nilai apabila dianggap nilai-nilai yang dulu telah usang dan tidak sesuai dengan masyarakat dan zaman .
- Telaah fungsi kelima agama yaitu memberikan semacan label bagi individu dalam suatu lembaga agama maupun dalam ritual agama tekait fungsi dan peranan dalam masyarakat intern agama (Pemuka agama, Guru agama, Umat beragama, kaum berdosa atau tentang Taubat).
- Terakhir, secara psiko-sosial agama memberikan cakrawala bagaimana manusia menjalankan tahapan kehidupan dalam kehidupan masyarakat, terkait dengan nilai-nilai yang menjadi acuan bagi tumbuh kembang maunusia dalam tanggung jawabnya sebagai masyarakat.
Fenomena Beragama di Arena Sosial
Sebagai gejala sosial agama adalah fenomena kemasyarakatan, yakni suatu pandangan dan pola hidup yang mengandalkan iman-kepercayaan akan dimensi transenden atau suatu Wahyu khusus.
Pendekatan dialogal menurut Banawiratma (1993) agama tidak akan dievaluasi apakah iman-kepercayaan itu benar atau tidak, yang ditanggapi adalah ungkapan-ungkapan agama yang bersifat duniawi-kemasyarakatan, jadi penampilan agama bersifat historis-kultural.
Bagaimana masyarakat agama menampilkan diri dalam masyarakat menjadi bagian integral dari masyarakat di lingkungan sekitarnya melalui tindakan, identitas, dan simbol-simbol keagamaan. Ringkasnya bagaiman masyarakat mengkespresikan agama yang dianutnya dalam lingkungan sosialnya.
Kongkritnya ekspresi agama secara sosial menurut para ahli sosiologi tampil melalui;
- persekutuan umat beragama,
- penafsiran yang mengartikan dan mengarahkan kehidupan melalui ajaran-ajaran,
- ibadah,
- keterlibatan umat agama di tengah-tengah masyarakat.
Persekutuan Umat Beragama
Persekutuan umat beragama (MUI, Muhamadyah, PHDI, PGI, dll) tidak hanya memberikan identitas keagamaan secara kolektif, baik dalam ritual maupun kehidupan sosial namun, lembaga agama sosial-struktural juga melakukan penataan internal ritual keagamaan sehingga akan mempengaruhi performitas ritual agama dimasyarakat, selain itu bagaimana lembaga-lembaga ini menerima dan memberikan reaksi atas perubahan sosial yang terjadi di masyarakat.
Sikap-sikap kritis para pemangku jabatan struktural di lembaga agama akan memberikan pengaruh terhadap keputusan masyarakat dalam menghadapi berbagai gejala sosial kontemporer. Bagi para cendekiawan agama yang termasuk ke dalam lembaga agama akan memberikan legitimasi untuk memutus, menunda, melarang berbagai tindakan yang tidak sesuai dengan ajaran agama. Jadi meminjam gagasan Bourdieu (2015) persekutuan Umat beragama merupakan arena pertarungan modalitas.
Penafsiran tentang ajaran-ajaran untuk diterapkan
Penafsiran tentang ajaran-ajaran untuk diterapkan atau paling tidak menjadi himbauan bagi masyarakat beragama oleh pejabat agama akan menjadi semacam mercusuar bagi kehidupan umat beragama di tengah masyarakat.
Rumusan ajaran-ajaran agama akan menjadi pedoman bagi masyarakat, untuk melakukan suatu tindakan dan menghindari suatu tingkah laku yang akan mendapatkan penghakiman dan hukuman dari Tuhan.
Modal kultural berupa pengetahuan agama, serta modal simbolik berupa jabatan Guru atau pemuka agama akan melegitimasi tafsir ajaran agama harus dilaksanakan. Tafsiran terhadap ajaran agama tidak hanya menjadi tindakan asketik individual, tetapi juga bersifat sosial. Untuk memberikan contoh empiris relasi tafsir ajaran agama dalam kehidupan masyarakat menarik disampaikan riset dari Gallup sebuah perusahaan konsultan melalui suatu survey terhadap 145.000 orang di 140 negara tentang tindakan kedermawanan.
Burma atau Myanmar mendapatkan skor tertinggi, dinyatakan sebagai Negara dengan masyarakat yang paling dermawan. Salah satu alasannya karena tradisi agama Budha yang kuat tentang ajaran mengasisi dan pemberian.
Sri Lanka juga menjadi salah satu Negara dengan masyarakatnya yang Dermawan juga karena ajaran Hindu dan Budha yang melekat tentang kewajiban pemberian dan berderma. Jadi ajaran agama dapat menjadi praksis budaya dalam kehidupan masyarakat.
Ibadah
Ibadah atau ritual bagi masyarakat agama tidak hanya bersifat individual tetapi juga sosial. Cerminan masyarakat beragama yang paling mencolok adalah keikutsertaan individu dalam suatu ritual keagamaan.
Berbagai proses ritual diikuti secara khusus dan seksama, dikaitkan dengan pandangan Glock dan Stark (dalam Khamad, 2005) secara psikologis ritual agama memiliki dimensi keyakinan, pengalaman, pengetahuan sehingga menimbulkan reaksi teradap keikut sertaan individu dalam beragama.
Ritual yang bersifat reflektif maupun dramaturgi berdasar atas keyakinan umat beragama, yang memberikan pengetahuan tentang kehidupan hakiki manusia, pengalaman tentang yang sakral dan berbagai efek setelahnya.
Menarik dicermati seputar kisaran kuantitas umat beragama dalam kehidupan masyarakat Dunia serta berbagai klaim tentang dampak agama bagi masyarakat, sehingga menjadi citra bagi agama tersebut.
Dalam situs religionfacts.com dinyatakan dari sekitar 7,5 miliar penduduk Dunia, 5,5 miliar diantaranya memeluk tiga agama terbesar dunia (Kristen, Islam, Hindu dan Budha), 1 miliar penduduk tidak menyatakan memeluk agama tertentu sisanya memeluk agama lokal.
Data tersebut menyiratkan bahwa mayoritas warga dunia memeluk agama. Jumlah umat beragama yang begitu besar di dunia tidak serta merta mampu mempertahankan keyakinan beragama umatnya yang tergambar dalam ritual rutin keagamaan.
Sebagaimana dikutip dari majalah Guardians (2001) begitu juga dengan survey yang dilakukan oleh Bullivat Guru Besar Teologi St Mary’s University di London rentang tahun 2014-2016 bahwa terjadi penurunan minat remaja untuk pergi ke Gereja untuk melakukan peribadatan.
Hal ini menandakan secara parsial terdapat penurunan minat terhadap kehidupan beragama remaja di Inggris. Dalam konteks lokal pergeseran sikap masyarakat agama di Bali mungkin dapat dijadikan contoh untuk memaknai peran masyarakat agama dalam kehidupan masyarakat. Perkembangan fenomena beragama di Bali mengarah pada tiga gejala.
Pertama, semakin gencarnya tokoh agama untuk melakukan sosialisasi ajaran agama dalam kehidupan aktual masyarakat baik dalam aspek kehidupan sehari-hari namun juga dalam hal-hal yang bersifat krisis dan substansial seperti ceramah yang dilakukan oleh pemuka agama di Bali TV dan penyuluhan di Pasraman Kilat.
Kedua kecenderungan meningkatnya pengalaman beragama melalui kegiatan-kegiatan ritual serta pendalaman aspek-aspek agama melalui kelompok-kelopmok kepetingan khusus seperti maraknya sekaa santhi, sekaa gong, pasraman.
Ketiga, semakin luasnya kecendeungan untuk melakukan kegiatan emansipatoris, seperti me-dana punia, ngayah bareng, makemit di Pura. Ketiga kecenderungan tersebut dapat mewakili keterlibatan umat beragama di tengah kehidupan bermasyarakat.
Refleksi Kritis-Emansipatoris
Seperti yang telah diperingatkan oleh Kimball (2002), Cassanova (2001) bahwa beragama tidak hanya dapat memunculkan, perdamaian, cinta kasih dan persuadaraan, namun beragama secara salah akan melahirkan mara bahaya atau memunculkan sifat paradoks agama.
Agama akan menjadi bencana seperti peringatan keras dari Kimball apabila ada indikasi :
- Apabila umat beragama melakukan klaim kebenaran mutlak terhadap agamanya,
- Kepercayaan buta terhadap pemimpin agama tanpa ada sikap kritis dan reflektis,
- Apabila umat agama cenderung merindukan jaman ideal lalu bertekad merealisasikannya di jaman sekarang,
- Apabila umat beragama membenarkan dan membiarkan terjadinya “tujuan membenarkan cara”,
- Apabila umat beragama tidak segan-segan mememikkan perang suci.
Agama juga jangan sampai menjadi paradoksi, dimana secara normatif agama adalah simbol kesucian, sifat melankolis, dan menubuhkan gairah persaudaraan menjadi sebaliknya. Umat beragama menjadikan agama sebagai penganjur sifatsifat culas, memamerkan kekerasan dan dipakai untuk senjata memecah belah.
Maka dari itu beragama dan bermasyarakat harus bersifat sinergitas, bahwa masyarakat agama tumbuh berkembang dengan sikap solidaritas dalam kehidupan sosial, pluralisme dan multikultural menjadi bagaian dari beragama, sifat saling menerima, menghormati dan toleransi adalah sikap agama dan masyarakat.
Ida Bagus Made Satya Wira Dananjaya, S.Ag, M.Si