
Asal Usul Tahayul
Ida bagus Made Satya Wira Dananjaya
Membincang supranatural selalu berkaitan dengan hal-hal klenik, gaib, sakral bahkan misteri. Sifat misteri dari supranatural karena hal-hal yang dihadapi tidak sepenuhnya dapat dipecahkan oleh akal manusia, melalui otaknya yang telah berevolusi ratusan tahun dalam menghadapi dunia alamiahnya. Mungkin seandainya kita hidup di tahun 2000 ke belakang kepercayaan terhadap hal-hal gaib, klenik dan misteri menjadi biasa, namun bagaimana nasib kepercayaan supranatural ini pada abad 21, sangat menarik dicermati.
Abad ini kita dimanjakan dengan ledakan ilmu pengetahuan diberbagai bidang kehidupan yang paling tidak memberikan jawaban atas pertanyaan manusia akan kehidupan yang penuh misteri dan ancaman. Ilmu pengetahuan dibidang teknologi informasi dengan akselerasi yang cepat oleh sinyal internet memberikan kemudahan yang tidak dapat dinikmati oleh manusia yang hidup dan besar pada dua dekade kebelakang. Namun apakah dengan adanya kemajuan akselerasi IPTEK (ilmu pengetahuan dan teknologi) segala rahasia dunia alamiah manusia bisa terjawab ? atau masih ada kaum skeptis yang meragukan IPTEK dan masih percaya pada hal-hal gaib ?.
Hantu, Rumah angker, ramalan, Penyihir dan kesurupan adalah tema akrab yang dapat dicari jejak-jejaknya pada cerita rakyat, sastra kuno maupun horor sinematik bahkan kartun di seluruh Dunia. Dalam lain pengertian tema supranatural tidaklah mengalami kemandegan, namun tetap hidup dan bertransformasi di jagat khayali berupa teks, cerita dan film. Pada titik ini di dunia imajener fenomena kepercayaan supranatural masih dikatakan hidup dan berkembang.
Sebelum beranjak lebih jauh menarik untuk dicermati penelitian Gallup terhadap seribu orang dewasa di Amerika Serikat pada bulan juni 2005 terkait kepercayaan terhadap hal-hal dan fenomena supranatural. Sebanyak 73 % dari jumlah responden percaya terhadap fenomena gaib atau supranatural semisal, adanya Hantu, Rumah angker, telepati, ramalan, komunikasi dengan Roh, Penyihir, reinkarnasi bahkan kesurupan. Hanya 27 % yang tidak percaya terhadap hal-hal Gaib dalam bentuk apapun. Negara adi daya ekonomi dan IPTEK seperti Amerika Serikat masih memiliki kepercayaan terhadap hal-hal dan fenomena gaib. Jadi tidak hanya pada Negara-Negara yang secara ekonomi dicap pinggiran dan sedang berkembang yang masih intim dengan kepercayaan supranatural.
Setelah 16 tahun berlalu pasca penelitian Gallup, dapat juga diajukan kesangsian terhadap kepercayaan supranatural. Yang mana jin, hantu, cenayan, dihadapkan dengan kemampuan situs pencarian melalui internet, yang dengan super cepat dapat menyampaikan informasi yang kita perlukan langsung kehadapan kita kurang dari setengah menit. Keberadaan buku-buku yang berserakan membahas tema Supranatural dari sisi sosiologi dan psikologi juga mudah ditemui.
Ambil misal penjelasan terhadap kepercayaan adanya entitas tak kasat mata yang dapat merasuk ke tubuh seseorang atau dikenal dengan kesurupan. Kesurupan dalam Ilmu Psikologi dijelaskan sebagai Histeria atau dalam filsafat sebagai monopsikisme. Penjelasan kesurupan diuraikan oleh Martyn Clayton, Rebecca Sager dan Udo Will dalam artikel berjudul In Time The Music: The Concept Of Entraintment And It’s Significance For Etnhomusicology, Histeria atau kesurupan merupakan suatu proses sinkronisasi terhadap dua gejala ritmik atau lebih yang hadir secara mandiri dan bersamaan membentuk satu ritme yang sama. Sebagai misal, satu gejala ritmik yaitu suara gamelan yang kencang dan mendayu, ditambah gejala ritmik lain yaitu perasaan tertarik dan bergairah, diikuti oleh suasana sekeliling yang begitu hangat dan dipenuhi banyak orang. Ketiga gejala ritmik ini, suara musik, suasana hati dan suasana sekitar menjadi satu sehingga membuat seseorang seakan terpanggil oleh musik dan suasana sekitar menari dengan penuh gairah, inilah keterbawaan dalam proses kesurupan.
Lebih lanjut Richard Wiseman dalam Buku berjudul Quirkology menjelaskan bagaimana kepercayaan terhadap hal-hal supranatural dipertahankan melalui berbagai mitos yang dibuat, dipertahankan dan disebarkan oleh penjaga mitos ini yaitu para tetua yang dipercaya. Contohnya anak-anak yang dilarang oleh orang tuanya melewati perempatan jalan atau kuburan di tengah malam sendirian. Hal ini akan menumbuhkan perasaan yang menjadi ritme tertentu yang akan bersanding dengan suasana sekitar sehingga menimbulkan kesatuan ritme berupa teriakan, menari tanpa henti, termasuk halusinasi tentang hantu.
Begitu juga dengan kepercayaan terhadap rumah hantu dapat dijelaskan melalui eskperimen Ilmuan asal Amerika Serikat yaitu Paul Rizona yang mengajar di Universitas Pennsylvania. Paul Rizona menguraikan rasa jijik, ngeri dan takut terhadap suatu hal terkait dengan standar kita dalam merespon sesuatu di luar diri kita dan juga beberapa subtansi atau perilaku yang dapat dianggap menakutkan, mencekam menjijikan, apabila orang lain atau banyak orang menganggapnya demikian. Sebagai contoh, apabila disuatu rumah pernah terjadi kejadian seperti pembunuhan, pemerkosaan dan menurut standar kita perbuatan itu mencekam, sadis dan menjijikan maka secara otomatis kita percaya rumah itu berhantu dan tidak bersedia membelinya apalagi tinggal di dalamnya.
Dua penelitian di atas paling tidak telah memberi argumen tentang kepercayaan terhadap hal-hal Gaib melalui sisi ilmu pengetahuan. Kesangsian berikutnya yang harus dijawab adalah apakah kepercayaan ini terus dapat bertahan atau paling tidak ada pada sebagian kelompok masyarakat tertentu ketika Negara-Negara di Dunia telah mengalami kemajuan IPTEK yang sama. Ketika semua telah dipecahkan melalui data-data, teori-teori dan langkah metodik apakah Hantu, Penyihir dan roh masih dianggap ada atau masih dipercaya oleh sebagian masyarakat.
Menjawab permasalahan itu kita mungkin dapat berpegang pada beberapa penelitian dan riset yang dilakukan oleh para peneliti. Penelitian ini menjadi unik dan menarik karena menguaraikan bukti bahwa kepercayaan terhadap kekuatan supranatural atau hal-hal gaib telah ada sejak masa kanak-kanak dan dipertahankan hingga dewasa oleh sebagian masyarakat. Peneliti Inggris seperti Peter dan Iona Opie yang telah melakukan riset bertahun-tahun kepada bayi dan anak-anak menemukan bahwa anak-anak bahkan bayi telah memiliki akar konsep tentang benda-benda dan dunia yang disekitarnya. Namun pada rentang usia tertentu, miskonsepsi terjadi dan melahirkan kepercayaan terhadap supranatural. Sebagai misal bayi ataupun anak-anak bukanlah kertas kosong. Bayi telah dianggap memiliki kecerdasan dasar bawaan untuk kemudian dapat memahami pola-pola dasar tentang benda-benda atau dunia sekitarnya.
Melalui berbagai observasi seperti aktivitas, melihat, memegang, mencium, mengecap, menggigit bahkan menelan secara berulang-ulang berbagai konsep mulai dikembangkan. Konsep seperti mengenal sifat-sifat benda, perbedaan benda-benda dan ciri-cirinya. Hal ini dibawa sampai masa anak-anak, sehingga pada masa anak-anak telah memiliki kerangka dasar tentang dunia yang teratur dan tertib melalui aktivitasnya dan pengetahuan dasarnya yang merupakan bawaan. Namun permasalahan terjadi ketika masa anak-anak terjadi semacam miskonsepsi terhadap dunia yang dialaminya dengan pengalaman hidup yang didapatinya.
Semisal ketika anak-anak telah dapat membedakan antara siang hari dan malam hari sebagai pergantian waktu yang datang secara teratur dengan segenap perbedaannya. Tetapi pada suatu malam terjadi kejadian yang tidak dapat dijelaskan oleh anak-anak seperti sambaran kilat malam hari yang menampilkan bias cahaya tertentu. Sehingga apa yang telah tertanam di psikisnya tentang perbedaan waktu yang biasa saja menjadi terganggu, seakan kenapa hal ini bisa terjadi padahal seharusnya tidak, ditambah penjelasan orang tua yang melarang anak-anak untuk keluyuran dimalam hari tanpa adanya pendamping karena ada pengganggu yang tidak terlihat. Padahal konsep dasar anak telah mengerti bahwa semua benda disekitarnya pasti memiliki wujud, sifat dan kasat mata.
Atas benturan konsep pengetahuan dasar yang juga bersifat teratur dan bawaan dengan pengalaman hidup yang ditemuinya muncullah miskonsepsi dalam dirinya. Sehingga kemungkinan munculnya jawaban alternatif tentang sesuatu benda atau kejadian, diluar pengetahuan dasar tentang konsep alam sekitar dan benda-benda menjadi mengemuka. Sampai disana muncullah kepercayaan terhadap sesuatu penggerak tidak kasat mata. Kepercayaan itu juga ditanamkan oleh orang tuanya melalui berbagai larangan dan ancaman gaib. Maka kultur juga mempengaruhi seseorang atau suatu masyarakat terhadap kepercayaan pada hal supranatural atau gaib.
Sampai disini kita paham bahwa bayi bahkan anak-anak telah memiliki kerangka dasar untuk menyusun berbagai pengenalan tentang dunia disekitarnya. Hal itu diraih melalui berbagai aktivitas, namun pada akhirnya terjadi semacam miskonsepsi yang kemudian membentuk jawaban alternatif terhadap berbagai kejadian yang tidak dapat dijelaskannya. Bruce Hood dalam bukunya SuperSense: Why We Belive In The Unbeliveable juga mengamini penelitian panjang Peter dan Iona Opie, bahwa bayi dan anak-anak memiliki konsep yang teratur dan tertib tentang Dunia sekitarnya, tetapi sayangnya Dunia nyata yang dihadapinya berjalan secara acak sehingga kepercayaan mereka harus di atur ulang.
Kultur yang mempertahankan dan mengedepankan penjelasan-penjelasan gaib akan memperpanjang keyakinan manusia atau suatu masyarakat terhadap supranatural. Begitu juga sebaliknya kultur yang dengan segera mampu menjelaskan hal-hal atau kejadian dengan penjelasan-penjelasan logis dan sistematis kemungkinan dapat mengurangi kepercayaan-kepercayaan terhadap hal supranatural. Apakah Ilmu Pengetahuan sudah begitu digdaya sehingga dapat menjelaskan semua hal secara logis dan sistematis ?, kalau tidak kemungkinan adanya misteri masih menjadi sandaran bagi kepercayaan akan hal-hal Gaib, karena manusia atau masyarakat perlu penjelasan terhadap semua hal. Jadi jawabannya kepercayaan terhadap supranatural mungkin akan tetap bertahan.