Putra Kama Yajna sebuah Konstruksi Trah Patriarkal

Pendahuluan

Melalui analisis Bachofen dan Briffault, Fromm (2011) menyampaikan gagasan pentingnya peran perempuan atau Ibu dalam kehidupan kejiwaan manusia pada masa pra-peradaban.

Begitu juga dengan Reed (2011) dalam bukunya yang berjudul “Evolusi Perempuan dari Klan Matriarkal Menuju Keluarga Patriarkal” menyatakan pernah ada suatu masa dimana peran perempuan begitu kuat dalam suatu  ruang sosial dan diterima sebagai gagasan universal.

Gagasan matriarki sebagaimana Fromm dan Reed digunakan untuk menguraikan pentingya kedudukan perempuan atau Ibu selain sebagai pusat garis keturunan juga memiliki peran sebagai pusat orientasi nilai-nilai, norma, budaya bahkan hukum. Fertilitas, penciptaan, pengayoman, kasih sayang adalah nilai-nilai dasar yang diterima dari peran perempuan dan Ibu dalam kehidupan kejiwaan manusia.

Kepercayaan mengenai produktivitas alami dipandang di dalam pengertian produktivitas manusiawi (Utama, 2015:39), dimana Ibu dan Perempuan memiliki kemampuan mengandung, melahirkan dan menyusui sebagai suatu daya alamiah yang juga dimiliki oleh alam sehingga melahirkan berbagai pemujaan kepada para Dewi dengan simbol-simbol prokreasinya (Briffault, 2009).

Perempuan Bali jaman dulu bersama anak-anaknya

Perkembangan selanjutnya berbanding terbalik dengan konsep Matriarkal, yaitu Patriarkal dimana peran perempuan atau Ibu dicabut, digantikan oleh Laki-laki dan ayah sehingga menempatkan perempuan kehilangan signifikansi dan daya-daya alamiahnya.

Sejurus dengan itu pergeseran superioritas perempuan ke Inferiotitas menjadi penciptaan klan Patriarkal secara semiotik dilukiskan Fromm (2011) melalui mitos Babylonia yaitu pertempuran Marduk dan Tiamat.

Epos Babylonia berasal dari suatu masa ketika seorang Dewa Laki-laki, Dewa Paternal memperoleh supremasi atas seluruh Dunia (Fromm, 2011:85). Hal yang sama juga tergambar dari cerita Dasaratha dalam usaha mendapatkan anak melalui suatu ritual yang disebut Putra Kama Yajnya atau Putra Kamesti Yaga.

Cerita yang menjadi bagian dalam epos Ramayana bagian Balakanda tersebut mengisahkan Dasaratha yang mendapatkan Putra atau keturunan tanpa proses alamiah, dan menjadi penggambaran suatu penciptaan trah Patriarkal.

Bagaimana mekanisme penciptaan klan atau trah Patriarkal sehingga mengaburkan peran perempuan atau Ibu dalam arena sosial yang dijumpai dalam ritual Putra Kama Yajnya menarik untuk dikaji.

Pembahasan

Dsaratha dan Ritual sebagai Benih-benih Patriarkal

Bila dilihat dari difinisi Putra Kama Yajnya, dapat diartikan sebagai Yajnya untuk keinginan mendapatkan Putra.

Salah satu kitab Ramayana yaitu Balakanda menceritakan Dasaratha memiliki Tiga Istri yaitu Kausalya, Keikayi dan Sumitra, pernikahan yang telah lama dijalaninya tidak juga dikaruniai seorang Putra dari masing-masing Istrinya.

Akhirnya Dasaratha mengadakan Yajnya yang dipimpin oleh Rsi Srengga, dari yajnya tersebut Dasaratha mendapatkan payasam berisi air suci untuk diminum oleh para istrinya. Beberapa bulan kemudian istri-istri Dasaratha melahirkan anak.

Relasi antara Dasaratha dan istri-istrinya begitu juga dengan upaya dalam mendapatkan anak melalui cara-cara non-alamiah (ritualistik) dapat dilihat dari gagasan yang ada dibaliknya. Relasi antara laki-laki dan perempuan tidak bisa dilepaskan dari gagasan yang ada dibaliknya, yakni ideologi gender, ideologi patriarki dan ideologi seks (Atmaja, 2010:150).

Dalam ideologi gender, Dasaratha sebagai Raja merupakan laki-laki yang dikondisikan memiliki peran sentral di masyarakat sebagai pemimpin masyarakat begitu juga pemimpin domestik (keluarga). Hal ini sejalan dengan pandangan Bourdieu (2010:61) bahwa perempuan tidak bisa muncul kecuali sebagai barang atau simbol-simbol yang maknannya di luar dirinya, dan fungsinya adalah untuk mendukung modal simbolik yang dipegang laki-laki.

Sebagai raja, Dasaratha memiliki daya lebih dari rakyat biasa dalam hal ini memiliki istri lebih dari satu. Ideologi patriarki menempatkan Dasaratha memiliki kekuasaan sebagai pusat garis keturunan, pemimpin keluarga. Ideologi seks menempatkan hanya laki-laki dan phalusismenya dapat memiliki wanita lebih dari satu, karena terdapat gagasan yang menyatakan laki-laki dengan berbagai atribut maskulinitas yang disandangnya merupakan jenis kelamin yang unggul, bijaksana, rasional sedangkan perempuan dengan label feminitasnya sebagai seks yang lemah, pasif, non-rasional, cenderung menggunakan perasaan.

Suatu konstruksi budaya tentang penis sebagai kelamin yang sempurna, sedangkan vagina adalah kelamin yang cacat dan dikebiri (Freud, 1985). Pandangan asimetris tersebut menempatkan perempuan tersubordinasi dari suprerioritas laki-laki. Singkatnya ideologi, politik tubuh bukanlah bentukan alamiah tetapi suatu perjuangan untuk berkuasa.

Perempuan Bali sedang berdoa

Mendapatkan keturunan bukan dari cara-cara alamiah yaitu bukan dengan penetrasi penis ke vagina sehingga terjadinya insemenisasi yang berakibat pada kehamilan perempuan dan tentunya lahirnya bayi dari rahim perempuan dapat ditelaah secara hermeneutik, yang mana Fromm (2011:86) menyebut sebagai penghilangan hak Ibu.

Penghilangan hak Ibu melalui penghilangan peran Ibu sebagai satu-saunya jenis kelamin dalam alam manusia yang dapat mengandung dan melahirkan, sejalan dengan itu menarik dikemukakan gagasan Hodgson-Wirght (2011:6) penghilangan hak Ibu sebagai sebuah cara dari satu kelompok untuk mendapatkan pengakuan publik dengan membangun makna pada sejarahnya.

Penghilangan peran Ibu alamiah untuk membentuk suatu gagasan baru tentang kelahiran dari klan patriarkal melalui berbagai mitos yang dibangun. Jadi selain mencoba untuk berpegang pada gagasan oposisi biner (konstruksi maskulinitas dan feminitas) yang terangkum dalam ideologi gender, ideologi seks dan ideologi patriarki benih-benih trah patriarkal tercermin dari menghilangkan peran alamiah Ibu dan digantikan dengan suatu ritual.

Peran kesuburan, peran prokreatif yang telah melekat secara alamiah dan merupakan takdir biologis dikebiri dengan jalan memandulkan perempuan dan memindahkan rahimnya ke dalam suatu ritual yang patriarkal. Ritual tersebut berjiwa patriarkal karena sama sekali menghapuskan peran perempuan, tidak ada suatu simbolistik kreatif dari perempuan yang memainkan perannya sebagai seorang yang memiliki daya penciptaan, dalam hal ini perempuan pasif, hanya menerima payasam berisi air suci dan berakibat hamil.

Daya-daya kosmik elementer (kesuburan, pencipta, pemelihara) yang dipadankan dengan kemampuan perempuan dihilangkan dan diambil alih oleh ritual yang patriarkal, sekali lagi caranya adalah perempuan dimandulkan terlebih dahulu, dan kelahiran anak dari tubuh perempuan dianggap kotor.

Penghilangan Hak Ibu suatu Upaya Konstruksi Trah Patriarkal

Gagagsan mengenai maskulinitas dan feminitas dapat ditemukan di seluruh area relasi sosial, gagasan tersebut merupakan bagian dari sejumlah aksi yang dimaksudkan untuk membangun struktur patriarki (Walby, 2014:133).

Maskulinitas dikonstruksi sebagai suatu keperkasaan laki-laki terhadap perempuan dalam seluruh arena sosialnya, singkatnya laki-laki merengkuh modal kultural dan modal simbolik untuk merebut kekuasaan atas perempuan.

Seperti halnya Fromm (2011) menyatakan maskulinitas dibentuk untuk kemudian menggerogoti sendi-sendi peran perempuan atau Ibu dalam konteks kejiwaan manusia. Supremasi atau maskulinitas yang diperoleh untuk mendapatkan suatu hak yang tidak secara alamiah dimilikinya, dan hanya dimiliki oleh lawan jenisnya yaitu perempuan.

Perempuan Bali mempersembahkan banten saiban

Ritual patriarkal yaitu Putra Kama Yajnya adalah salah satu media yang ditujukan untuk menggantikan peran Ibu dan perempuan sekaligus suatu ekstasi kemenangan laki-laki atas hak Ibu. Tubuh perempuan yang ter-mandulkan, dan memiliki label kotor telah kehilangan suatu kemampuan biologisnya, sehingga kehilangan konsep “ibu biologis”.

Anak yang dimilikinya bukan lagi bagian atas kreasi dari tubuh biologis Ibu dari kerjasama seksual dengan laki-laki, tetapi telah tergantikan dengan konfigurasi ritual yang mengesampingkan peran tubuh sebagai sebuah wahana kreasi (tubuh kotor atau kosong).

Tubuh dalam hal ini materi telah dihilangkan kemampuannya dan digantikan dengan ritual, dapat dikatakan tubuh telah mengalami degradasikan daya-daya biologikal, sedangkan ritual mendapatkan supremasi mistik ke-Ibuan.

Ritual Putra Kama Yajnya digambarkan oleh Sudirga, dkk (2013) begitu juga dengan Adnyana (2012:8) sebagai sebuah mekanisme mendapatkan putra dengan jalan ritual yang melibatkan pendeta, api suci untuk mendapatkan payasam berisi air suci. Dengan jalan berdoa di depan api suci pendeta Srengga meminta air suci kepada para Dewa sebagai anugrah untuk istri-istri Dasaratha sehingga dapat melahrkan putra.

Setelah air suci dan payasam di dapat, istri pertama Dasaratha yaitu Kausalya meminum seteguk, Kaikayi meminum seteguk sedangkan Sumitra meminum dua teguk sampai habis. Kausalya melahirkan Rama, Kaikayi melahirkan Barata, sedangkan Sumitra melahirkan dua anak yaitu Laksmana dan Satrughna.

Bertolak dari teori Fromm (2011) tentang pengambilan hak Ibu dan juga Reed (2011) tentang peralihan klan Matriarki ke Patriarki mekanisme tersebut dapat dinyatakan sebagai penghilangan hak Ibu.

Hal pertama dalam perampasan hak Ibu dilakukan dengan jalan politik tubuh, hilangnya atau terdegradasinya aktivitas seksual secara simbolik, birahi menjadi kotor, sehingga cara mendapatkan anak tidak lagi dengan percumbuan intim biologis yang penuh gairah yang berujung ereksi laki-laki dan masuknya sperma ke ovum perempuan.

Menimbang gagasan Malinowski (2009:7) pengendalian aktivitas seksual terkait dengan plastisitas insting. Gairah seks atau aktivitas seks manusia menjadi semacam formula budaya dan tidak lagi dalam konteks alamiah inilah plastisitas insting, seks dengan berbagai eksesnya dibentengi sekaligus dinaungi oleh budaya dalam hal ini budaya patriarkal. Laki-laki berperan sangat vital dalam membentuk wacana dan skema budaya berdasarkan sudut pandangnya.

Implikasinya, selain seks menjadi kotor, anak tidak lagi digambarkan dilahirkan melalui sebuah rahim tempat tumbuh berkembang benih awal kehidupan, namun digantikan dengan berbagai alat lain yang dapat dikupas maknanya secara denotatif.

Merujuk pada Reed (2011) dan juga Fromm (2011) dapat disebutkan Api suci menjadi pengganti rahim alamiah. Penggantian rahim oleh api suci merupakan distorsi fungsi prokreasi. Penghilangan fungsi sentral ibu dengan benda lain yang menandakan hilangnya fungsi keintiman dan poros ke-Ibuan dalam kehidupan kejiwaan manusia.

Distorsi fungsi prokreasi menandakan hilangnya supremasi perempuan atas anak atau keintiman ibu dengan anaknya yang lahir, karena telah dimitoskan tidak lahir dari rahim Ibu tetapi melalui api suci, tidak lahir melalui aktivitas atau tubuh yang kotor dan profan tetapi melalui upacara yang sakral.

Anak yang dilahirkan pun semua anak laki-laki yang penuh bakat sebagai pemimpin kharismatik. Menjadi suatu kebanggan dalam kejiwaan laki-laki bahwa kelak yang melanjutkan keperkasaan sang Ayah diruang publik adalah anak laki-laki sehingga kelahirannya menempatkan kebanggan super dan anak laki-laki adalah keinginan primer bagi Ayah.

Perampasan hak Ibu juga digambarkan melalui pemberian nama oleh sang Ayah dalam hal ini Dasaratha. Bachofen mencatat pada masa matrarchate anak sepenuhnya ada dalam naungan Ibu termasuk dalam memanggil sang Anak. Supremasi laki-laki sebagai pemilik anak menepatkan haknya untuk memberikan sang anak nama sesuai dengan keinginan Ayah, terdapat suatu kebiasaan di berbagai belahan dunia membawa nama ayah dibelakang atau di depan nama anaknya.

Dengan ini meminjam Fromm (2011) dan juga Bourdieu (2010) sepenuhnya dominasi laki-laki terhadap perempuan  imanen dan absolut. Dominasi laki-laki melalui tindakan simbolik yang mana nama ayah melekat pada anaknya bukan nama Ibu menjadikan legitimasi laki-laki  terhadap anak begitu powerfull, dominasi laki-laki terhadap perempuan melalui perampasan hak Ibu atau dalam hal ini terjadi sebuah konstruksi trah patriarkal.

Refleksi

Perempuan Bali

Interaksi serta dinamika gender di ruang publik tidak serta merta terpaku pada bentuk yang baku namun bersifat cair dan terdapat tarik ulur pemaknaan. Konsep Ibu pada masa primitif dan agraris tentu telah mengalami pergeseran dengan adanya gerakan feminis akibat dari perluasan pendidikan dan kesadaran perempuan di ruang publik dan telah tiba dalam maknya yang paling mutakhir di masa postmodern ini yaitu wanita lokal dan publik.

Namun, secara alamiah terdapat pandangan paralel yang menyatakan makna Ibu alamiah disegala jaman adalah otentik, yaitu Ia yang memiliki rahim dan daya-daya prokreatif yang terkonfigurasi dalam frase-frase kesuburan, penciptaan, perawatan, singkatnya mengandung dan melahirkan.

Keegoisan patriarkal dengan jalan merampas hak Ibu dan menempatkan sebagai klan Patraiarkal sesungguhnya dapat diresistensi melalui penguatan daya otentik (asli) perempuan. Jelas ini dilakukan akibat kecemburuan laki-laki dalam kejiwaanya karena tidak memiliki daya prokreatif dan hilangnya suoremasi atas anak.