Bhuta dan Bhakti
Perjalanan manusia dalam memahami hakikat alam dan kehidupan lain selalu dibenturkan oleh keterbatasan empiris dan kongnisinya, sehingga tetap memunculkan berbagai rahasia yang tidak terungkap.
Pengalaman inderawi tidak cukup untuk membuka penjara kegelapan pikiran manusia, begitu juga dengan pengolahan rasio, masih terdapat kecemasan dalam diri manusia tentang apa yang dihadapi, yang akan dihadapi dan berbagai konsekuensi saat bersinggungan.
Fusi antara penyerapan gejala empiris (pengalaman) dan penekanan pada daya olah rasio dalam menjawab persoalan hidup hanya dapat melahirkan prediksi semu, dan berbagai teori yang setiap dekade dapat dikritik, tidak ada teori yang bersifat anti-kritik.
Keangkuhan manusia melalui keinginannya untuk menguasai alam dibentengi oleh rahasia-rahasia dan kekuatan alam yang seakan tidak terhingga dan penuh rahasia. Keterbatasan yang disandang manusia dalam menyingkapi rahasia alam dan kehidupan membuatnya harus melakukan kerja sama terhadap daya-daya yang tidak terungkapkan, tersembunyi dan tidak tertandingi.
Konsep Gaib dalam terminologi Antropolog Frazer menggariskan adanya persepsi dari daya alam dan kehidupan yang tidak tampak namun memiliki pengaruh signifikan dalam bagi manusia.
Konsep Bhuta dalam konteks Hindu di Indonesia menggambarkan daya alam dan kehidupan lain, tidak dapat ditaklukan namun dapat diajak bekerjasama dalam mengkonstruksi kehidupan harmonis.
Munculnya istilah linguistik “Somya” “Nyomya Bhuta”. Istilah Caru yang berarti manis atau harmonis memberikan indikasi keinginan kuat manusia untuk berdamai dengan alam dan kehidupan lain serta kekalahan keangkuhan manusia untuk menguasai alam.
Keinginan untuk membentuk kehidupan yang harmonis, mensyaratkan lepasnya daya angkuh dan menerima keadaan kerdil manusia dibandingkan dengan alam dan kehidupan lain.
Syarat itu menjadikan manusia sebagai sosok pemuja, pemohon, penuh kasih dan lembut. Sebagai pemuja manusia berada pada titik fatalis yang tunduk, taat dan patuh, sebagai pemohon manusia menjadi homo esparnas (manusia penuh harap).
Sebagai yang penuh kasih dan lembut manusia menjadi mahluk yang kaya akan simbol yaitu pembuat simbol, pengguna simbol dan pengubah simbol. Cita-cita harmonis melahirkan sikap patuh, pemohon, dan penuh cinta yang tergambar dalam konsep Bhawabhakti yaitu ajaran-ajaran tentang sikap-sikap bhakti.
Sementara itu, dalam memperteguh dan memperpanjang keinginan tersebut manusia melegitimasinya selain dalam bentuk ritual juga dalam bentuk narasi sehingga memunculkan berbagai mitos.
Ritual memberikan bentuk sakramen (upacara sakral), maka mitos memberikan wajah fundamen (sebagai dasar asumsi). Mitos dan ritual memberikan garansi kekokohan tradisi yang terjaring dalam tiga elemen tradisi yaitu memori kolektif, penjaga tradisi dan ritual.
Memori kolektif mengingat kembali jasa masa lalu dalam membentuk suatu kaidah-kaidah kehidupan kontemporer sehingga terdapat harmoni (dilegitimasi oleh mitos), sementara penjaga tradisi adalah manusia yang selalu aktif mencari makna kehidupan baik melalui tradisi maupun ilmu pengetahuan, terakhir ritual adalah cara efektif dalam menampilkan kembali tradisi serta meneguhkannya kembali.