RITUAL SIKLUS KEHIDUPAN DALAM HINDU

(Sebuah Antropologi Filosofis)

Sri Arwati Seorang akademisi sekaligus praktisi agama Hindu menyebut Manusia Hindu adalah manusia ritual. Tesis manusia ritual mengacu pada setiap siklus kehidupan manusia Hindu selalu diwarnai dengan ritual atau upacara keagamaan, mulai dari dalam kandungan sampai upacara kematian. Ritual yang dilakukan dengan ragam tingkatannya dilakukan dengan khidmat, kendati terdapat beberapa asumsi yang menyatakan lebih menonjolkan kesemarakan dibandingkan dengan kekhususkannya.

Menjawab asumsi tersebut, kembali meminjam Gagasan Sri Arwati alih-alih lebih menitik beratkan pada ritual siklus kehidupan, makna dan argumentasi filosofisnya patut dikedepankan. Menguatkan diri dengan pengetahuan tentang makna suatu upacara atau ritual siklus kehidupan akan membawa pada pendidikan karakter manusia Hindu dalam kehidupan bermasyarakat. Pembacaan lebih dalam ritual siklus hidup membawa kita tidak hanya terpaku pada pendidikan karakter tetapi mengarah pada konstruksi filosofis manusia itu sendiri. Siapa itu manusia dan apa makna keberadaannya, merupakan kebimbangan ontologis yang dicari jawabannya dalam ritual siklus hidup dalam Agama Hindu.

Ritual Siklus Kehidupan

Upacara dalam Kandungan sampai Otonnan

            Mengacu pada teks Kanda Pat Rare, upacara megedong-gedongan dilaksankan pada masa kehamilan yang dianggap matang atas pertemuan kama jaya (sperma) dan kama ratih (ovum) yang sudah membentuk si jabang bayi. Upacara Megedong-gedongan ditujukan kepada Bayi yang masih berada di dalam Kandungan dan merupakan Upacara pertama dilaksanakan pada saat Bayi berumur 5 bulan Bali (kurang lebih 6 Bulan kalender), karena wujud Bayi sudah dianggap sempurna. Pelaksanaan upacara Magedong-gedongan berfungsi sebagai penyucian dan pengukuhan posisi bayi dalam kandungan. Secara bathiniah agar Sang Bayi kuat mulai setelah lahir menjadi orang yang berbudi luhur, berguna bagi Keluarga dan Masyarakat Demikian juga dimohonkan keselamatan atas diri si Ibu agar sehat, selamat waktu melahirkan.

Upacara Kepus Puser adalah upacara yang dilakukan pada saat tali pusar bayi lepas untuk memohon kepada Hyang Kumara agar dapat menjaga dan mengasuh si bayi, yang mana upacara kepus puser ini sebagai bagian dari upacara manusa yadnya. Upacara ini cukup dipimpin oleh keluarga yang tertua (sesepuh), atau jika tidak ada, orang tua si bayi. Tata cara :Puser bayi yang telah lepas dibungkus dengan kain putih lalu dimasukkan kedalam “ketupat kukur” (ketupat yang berbentuk burung tekukur) disertai dengan rempah-rempah seperti cengkeh, pala, lada dan lain-lain, digantung pada bagian kaki dari tempat tidur si bayi. Dibuatkan kumara (pelangkiran) untuk si bayi, tempat menaruh sesajian. Di tempat menanam ari-ari dibuat sanggah cucuk, di bawahnya ditaruh sajen segehan nasi empat warna, dan di sanggah cucuk diisi dengan banten kumara. Tidak ada mantram khusus untuk upacara ini, dipersilakan memohon keselamatan dengan cara dan kebiasaan masing-masing.

            Upacara Macecolong, atau macolongan dilaksanakan pada umur bayi memasuki usia 1 Bulan (Kalender Bali) 7 Hari atau 42 hari. Teks Kanda Pat Rare menyebutkan jalan kelahiran bayi berikut kondisinya dalam kandungan dibantu oleh empat unsur yang disebut dengan catur sanak atau nyame bajang. Catur sanak tersebut terdiri dari yeh nyom-nyom, getih, lamad atau pusar dan ari-ari. Nama nyame bajang ini juga jamak disebut bajang colong dan sangat mungkin menjadi cikal nama upacaranya yaitu macecolong. Setelah bayi berusia 42 hari, nyame bajang ini telah dianggap menunaikan tugasnya sehingga dikembalikan ke asalnya melalui upacara macecolong.

            Setelah bayi berusia tiga bulan (sesuai kalender Bali) dilakukan upacara nyambutin atau yang lebih dikenal dengan nelu bulanin. Dikatakan memasuki usia tiga bulan setiap indria si bayu telah aktif yang dalam perjalananya akan membwa dampak positif dan negatif bagi kesuciannya. Upacara Nyambutin bertujuan untuk membentengi seturut menyiapkan sang bayi dari ragam pengaruh yang diakibatkan oleh kontak panca indria dengan dunia luar. Karena aktifnya indria si Bayu maka dari itu bayu dianggap telah utuh menjadi manusia dan diberikan nama.

Dilanjutkan dengan upacara pawetuan atau otonan ketika bayi berusia 6 bulan atau telah melewati satu siklus perputaran wuku yang jumlahnya tiga puluh dan satu wuku usianya tujuh hari, jadi terhitung 210 hari. Upacara otonon memperingati hari kelahiran bayi dan dianggap telah berusia satu weton, mengutip lontar Dharma Kahuripan dan Jatma Prawerti dinyatakan Hyang Siwa menganugrahkan Dewa Surya untuk menerima segala persembahyangan manusia setiap ada perubahan status. Otonan merupakan langkah religi dalam menyikapi perubahan status bayi yang kini memasuki usia satu weton.

Upacara Metatah sampai Pawiwahan

Agama Hindu menterjemahkan masa peralihan menuju dewasa tidak lagi terkonsentrasi pada tubuh utuh dan perkembangannya secara psikis, tetapi juga terdapat pengekangan berbagai tingkah laku, faktual dengan adanya tradisi asketik awal menuju kearah Dewasa. Tradisi asketik ini bernilai individual maupun sosial, secara individual manusia dibentuk oleh berbagai pantangan sikap-sikap non-etis melalui tindakan simbolis “masekeb” berikut larangan non-etis tersebut merupakan prasyarat bagi remaja menuju kearah dewasa dalam pengertian mempersiapkan diri terjun kemasyarakat dengan berbagai tanggungjawabnya. Menahan ego-pribadi menuju super-ego yang dibentuk oleh masyarakat. Terminologi “menek kelih” (menuju dewasa) dan pemangkasan sikap non-etis sebagai penghambat menuju hubungan yang harmonis dengan masyarakat  adalah acuan dalam kehidupan bersama yang harmonis, gejala-gejala menuju dewasa sekali lagi mengalami harmonisasi melalui inisiasi sebagai anggota masyarakat baru.

Kehidupan anak-anak sampai remaja dilabeli sebagai masa brahmacari, masa menuntut ilmu dengan berbagai tanggung jawab yang diemban. Penghormatan terhadap catur guru menjadi kewajiban mutlak atau semacam hutang yang dimiliki untuk dituntaskan sehingga beban tersebut membentuk sikap-sikap tertentu. Setelah dewasa manusia dihadapkan pada kehidupan baru mengenai penyatuan dua jenis kelamin, yaitu masakapan atau makurenan, disini manusia yang telah diinisiasi melalui upacara tersebut dibebankan berbagai ritual dalam hidupnya untuk membayar hutang yang disebut dengan tri rna. Ketiga hutang tersebut melahirkan berbagai laku ritual yang disebut panca yajnya dengan berbagai difinisi dan bagiannya. Ritual panca yajnya melahirkan tindakan yang terstruktur dan terpola sesuai dengan memori kolektif masyarakat dengan berbagai variasinya.

Ketika masih janin, bayi dan anak-anak tubuh dan psikis individual mendapatkan konsentrasi, maka ketika remaja dan dewasa tanggung jawab sosial menjadi domainnya. Manusia tidak lagi sebagaimana adanya namun telah masuk kedalam kerumunan besar yang disebut dengan masyarakat. Bagian terakhir dalam perjalanan kehidupan sebelum kematian adalah menghadapi masa tua, faktual di masyarakat masa tua adalah masa “persentasi” dimana pengetahuan dan pengalaman yang matang membawa manusia sebagai “yang dituakan” atau sepuh dalam kehidupan.