
TRADISI PERANG TIPAT BANTAL
(Ritual Proteksi Kesuburan)
“Kesuburan Tanah Bagi masyarakat Bali masa agraris sering dikaitkan dengan kesuburan seorang perempuan (Ibu). Ketika Ibu-Bumi dikaitkan dengan kesuburan Ibu, kita akan mengenal karakter ekologi dalam masyarakat Bali”.
Ritual Perang tipat bantal dilaksanakan setahun sekali pada sasih kapat di Desa kapal. Perang tipat bantal adalah sebuah ritual tahunan yang telah diselenggarakan sejak 1337 oleh masyarakat Desa Kapal. Perang tipat bantal tepatnya dilaksanakan di Pura Desa Kapal.
Sesuai dengan Bhisama Kebo Iwa semenjak 1341 Masehi ritual Perang Tipat Bantal harus terus diselenggarakan setiap Tahun. Perang Tipat merupakan suatu ritual yang bertujuan untuk ungkapan rasa syukur atas hasil panen yang telah diperoleh guna piranti melangsungkan serta mempertahankan hidup. Atas bhisama tersebut ritual ini bertahan hingga kini. Perang tipat bantal juga disebut dengan nama Aci Rah Penganggon oleh masyarakat setempat.
Upacara perang tipat bantal ini dimulai dengan persembahyangan bersama yang dilakukan oleh seluruh wargamasyarakat adat yang dipimpin oleh pemangku setempat guna memohon keselamatan bagi seluruh warga termasuk seluruh anggota peserta ritual perang tipat bantal. Para peserta sebelum memulai ritualterlebih dahulu melepaskan bajunya dan bertelanjang dada saling berhadap-hadapan. Di depan para peserta telah tersedia Tipat (Ketupat-red) dan Bantal (Jajan khas Bali berbentuk Bantal-red). Setelah aba-aba dimulainya perang seketika para peserta mengambil tipat dan bantal yang telah tersedia dan melemparkannya ke rekan yang ada dihadapannya, iklim gemuruh berikut suka cita terjadi. Tipat dan bantal terlihat berterbangan saling silang saling lempar.
Ritual perang tipat bantal berangkat dari suatu pandangan holistis tentang keterkaitan dan interaksi antara alam manusia dan alam para leluhur. Dunia leluhur merupakan Dunia Ideal yang darinya berkat, anugrah dan musibah ditemukan jawabannya. Keterbatasan kemampuan dalam mengungkap kerahasiaan alam menjadi batu sandungan bagi ketidaksempurnaan hidup manusia, dalam mengatasinya suatu tindakan simbolik yang menggambarkan atau meniru tindakan yang menonjolkan fertilitas dan kelahiran.
Tindakan simbolik yang mimitik ini diharapkan dapat memberikan suatu pengaruh bagi tujuan yang ingin dicapai oleh manusia. Ketika kesuburan tanah dikaitkan dengan kesuburan Ibu maka kegiatan yang tergolong dalam kelangsungan kehamilan dan tumbuhnya entitas baru diaktifkan. Inilah yang kemudian menciptakan suatu ritual senggama kosmik, yaitu ritual penyatuan dua bentuk seks yang berbeda secara simbolik kemudian diharapkan dapat melahirkan kehidupan baru. Tipat adalah simbol maskulin dan bantal adalah simbol feminim, perang adalah diksi yang memiliki makna penyatuan.
Ritual seperti ini dapat ditemui pada kelompok masyarakat yang sangat bertumpu pada kesuburan tanah sebagai sumber penghidupan. Sebagaimana Sanderson, ritual ini kemudian tetap dipertahankan pada masa kini sebagai bentuk kebajikan lokal masyarakat setempat yang masih terikat pada tanah dan leluhur.
Keterikatan masyarakat terhadap tanah tidak hanya pada ketertundukan biologis yaitu sebagai bahan pangan dan ekonomis yaitu mata pencaharian, namun lebih dalam lagi yaitu bernilai sosial-religius. Bahwa tanah juga terkait dengan ikatan sosial masyarakat, dahulu dikenal dengan tanah drue (milik) Desa, atau tanah milik Pura atau lahan milik desa dan miliki Pura yang boleh diolah atau ditempati namun harus melaksanakan kewajiban tertentu kepada Desa. Tanah yang berisi pada yang dialiri oleh air juga merupakan tanah yang menjadi tanggungjawab sosial dalam membagi air secara merata, maka setiap pemilik sawah dihadapkan pada tugas-tugas atau kewajiban terhadap Sawah sebagai tangguh jawab bersama terlebih adanya suatu kewajiban terhadap Pura Subak (Pura yang ada di Sawah).
Hal ini menjelaskan bahwa tanah tidak hanya dapat diukur secara fisik dan objektif tetapi juga secara mental dan subjektif. Bahwa tanah telah diberikan nilai-nilai yang begitu dalam, bagi alam bathin masyarakat Bali sehingga antara dirinya sebagai individu diikat secara sosial dan ritual. Tanah adalah bagian dari alam bathin masyarakat Bali, tidak hanya mengenai kesuburannya tetapi juga tentang bagaimana dapat membentuk kehidupan sosial masyarakat.
Perang tipat bantal mengajarkan tentang bagaimana impian dan hasrat manusia yang terbatas dan berinteraksi dengan kehidupan ilahi. Bahwa ritual ini menunjukan rasa syukur yang dalam seturut mempertahankan kesuburan Tanah sebagai suatu entitas mental tidak hanya fisik.