Dari Agama Komunal ke Agama Spiritual
Agama merupakan salah satu gejala dalam kehidupan manusia. Agama memberikan perspektif lain dalam mengarungi kehidupan manusia, selain dari kehidupan subsistensi manusia.
Seperti halnya aspek-aspek kehidupan manusia, agama dalam rentang sejarah telah banyak mengalami perubahan, karena perubahan pola kehidupan manusia sebagai pendukung tunggal agama, ini menandakan bahwa agama juga tidak kaku atau berhenti begitu saja dan selalu mengikuti keinginan manusia.
Agama bukanlah sesuatu yang diberi, namun sesuatu yang terus menjadi. Selain itu, Agama tidak hanya hidup dalam pikiran tetapi telah menjadi praktik kehidupan. Jadi apakah perubahan dalam praktik keagamaan manusia dari dulu hingga sekarang?
Agama dalam praktik (perspektif materialistik)
Tidak seperti halnya konsep-konsep yang ada dalam kehidupan manusia, agama sangat sulit didefinisikan secara general. Hal ini diakibatkan oleh diversalitas yang terjadi dalam mengambil data-data kemunculan awal agama di masing-masing tempat.
Banyak ilmuwan yang mengambil sampel dari satu suku di satu kepulauan kemudian mengkomparasikan dengan suku lain dibelahan benua lain lalu menyimpulkan konsep agama. Ada pula peneliti yang mengambil dari satu sudut pandang saja misalnya dari upacara.
Sehingga agama sulit di definiskan. Namun ada satu kesamaan yang pasti yang dikonklusikan dari sekian banyak konsep agama oleh para ahli adalah agama dipraktikan oleh manusia. Agama tidak hanya hidup dalam tataran ide namun telah berlaku secara praktis.
Manusia mempraktikkan upacara tertentu terkadang untuk mengatasi permasalan diluar kemampuan biologisnya. Manusia melarang makanan tertentu untuk dimakan secara sadar (tidak instingtif), manusia memuja, memohon, mengorbankan sesuatu kepada sosok yang tidak memiliki jasad yang mereka sebut Tuhan, Roh Suci atau Dewa-Dewa Agung.
Ini merupakan bentuk praktik agama, yang mana bukan merupakan cara-cara utama manusia dalam memenuhi kebutuhan dasarnya. Paling tidak dapat dijelaskan bahwa agama bukanlah cara-cara manusia untuk memenuhi kebutuhan dasarnya yaitu berupa makan, minum, berteduh, rasa aman, namun, karena agama hanya dipraktikkan oleh manusia, sehingga agama selalu bersentuhan dengan kebutuhan dasar manusia baik itu fisik-biologis maupun kebutuhan integrative seperti kebutuhan akan rasa aman, tentram dan damai.
Harris (1974) menyimpulkan bahwa agama lahir dari hal-hal yang bersifat material. Pernyataan tersebut diperoleh setelah membendingkan larangan memakan makanan tertentu seperti larangan memakan sapi di India dan larangan memakan Babi di Israel Kuno.
Sapi sangat berguna bagi masyarakat India jaman dulu sabagai tenaga utama dalam membajak sawah sehingga keluarga yang memakan sapi sebagai makanan pokok akan jatuh miskin.
Sedangkan babi adalah mahluk yang tidak cocok dipelihara di daerah panas karena babi sulit berkeringat, tidak produktif dan merusak tanaman, sehigga klaim Babi sebagai mahluk menjijikan hanya bersifat preventif untuk memelihara Babi dan menjaga lahan.
Jadi ideologi agama lahir dari hal-hal yang bersifat material yaitu berfungsi atau tidaknya sesuatu sehingga menjadi disucikan (apabila berfungsi) atau diharamkannya (tidak berfungsi).
Terkait dengan keberdaan upacara-upacara keagamaan (masih dalam pemikiran materialis) Freezer menyatakan, ketika manusia sudah kehabisan akal dalam mengatasi berbagai masalah subsistensi manusia (manusia dalam krisis kebutuhan dasar) maka manusia mengalihkan perhatiannya dengan meminta keberhasilan kepada hal-hal yang bersifat gaib. Sehingga timbullah praktik-praktik magis.
Jadi dalam hal ini agama menjadi penyelesaian masalah yang dihadapi oleh manusia pada masa pra sejarah. Agama juga dikatakan mampu menjadi kontrol masyarakat, tingkah laku manusia mulai dilabelkan sebagai tidak baik, menyimpang, jahat, keji harus dihindari sedangkan lawannya tindakan yang baik, tidak menyimpang, sopan, halus, harus dipatuhi. Agama telah memenuhi keinginan manusia untuk mendapatkan rasa aman, ini merupakan fungsi dari katagorisasi tindakan manusia.
Agama Komunal Ke Agama Spiritual
Manusia adalah mahluk adatif, dimana selalu melakukan perubahan-perubahan untuk mengatasi masalah hidupnya. Adaptasi dalam mengatasi masalah hidup manusia disebut kebudayaan.
Cara-cara hidup manusia terus berubah karena berbagai masalah yang dihadapinya sehingga perlunya strategi untuk mengatasinya, diakui oleh para ahli bahwa kepadatan penduduk membawa dampak besar bagi berkurangnya lahan untuk mencari makanan sehingga cara hidup nomaden berubah dari nomaden menjadi menetap, dari berburu, bercocok tanam, kemudian membeli di pasar, dari teknologi sederhana dari binatang, kayu batu, kemudian berubah ke logam sampai pada teknologi yang lebih rumit yaitu dengan mesin.
Selain untuk mengontrol masyarakat agama juga dikatakan dapat mengontrol prilaku individu.
Dengan mengatasnamakan Perintah Tuhan sebagai Yang maha suci, yang maha sempurna, dan penguasa alam semesta sedangkan manusia mahluk profan, tidak sempurna dan yang dikuasai oleh alam maka, tindakan individu yang sesuai dengan keinginan Tuhan akan mendapatkan hadiah sedangkan yang tidak sesuai akan mendapatkan hukuman.
Hal ini menandakan agama telah menjadi pembentuk kata hati bagi manusia. Agama adalah kontrol ideologi, sosiologis dan psikologis.
Perubahan masyarakat dan budaya dari masyarakat tidak terspesialisasi menjadi masyarakat terspesialisasi, masyarakat sederhana menjadi masyarakat kompleks, dari masyarakat wilayah menjadi masyarakat dunia, tidak hanya membawa perubahan dibidang teknologi, ilmu, organisasi, dan kebiasaan.
Tetapi, perubahan tersebut juga membawa dampak bagi perubahan dalam praktik keagamaan. Agama telah berubah dari agama komunal ke agama spiritual. Evolusi agama terjadi melalui tiga tahap yaitu;
- agama komunal atau agama ritual
- agama periferal
- agama spiritual
Agama Komunal
Agama komunal lahir dari komunitas yaitu masyarakat. Agama komunal berpusat di masyarakat dimana komunitas mendifinisikan dunia yang sedang dihadapinya. Dalam istilah Durkheim disebut sebagai sakralisasi komunitas.
Komunitas dalam hal ini suku tertentu memiliki kepercayaan terhadap sakral atau tidaknya sesuatu, sehingga diperlukan upacara tertentu. Di beberapa tempat tertentu konsep sakral dalam satu suku hanya dimiliki oleh satu orang saja, sehingga upacara yang berlaku disuku tersebut berpusat pada satu orang itu saja.
Yang terpenting adalah agama komunal lahir dari komunitas tertentu (berbeda dengan komunitas-komunitas lainnya) dan memerlukan upacara sebagai bentuk aktivitas keagamaan.
Pada agama komunal lahir berbagai upacara tertentu baik untuk mengatasi permasalahan hidupnya (makanan, kelahiran, kehidupan dan kematian), karena pada saat lahirnya agama komunal pengetahuan manusia masih sederhana, namun sebagian besar upacara pada agama komunal selalu terkait dengan masalah subsistensi manusia.
Sehingga agama komunal disebut juga agama ritual. Ritual pada agama komunal tidak didefinisikan hanya dilaksanakan secara taat dan regenerative.
Agama komunal hanya mengenal kekuatan gaib bukan Tuhan. Sehingga agama komunal lebih bersifat egaliter. Pada tahap ini Agama komunal menjadi semacam ideologi masyarakat melalui upacara-upacara.
Agama Periferal
Agama periferal adalah agama yang secara kewilayahan sudah melebar tidak hanya dalam satu suku tetapi telah menjadi satu wilayah tertentu. Hal ini terjadi ketika manusia memasuki jaman kerajaan.
Satu kerajaan dapat didiami oleh lebih dari satu suku sehingga ritual keagamaan dalam satu wilayah dengan suku yang berbeda menjadi sama. Berbagai upacara mulai didefinisikan. Adanya konsep dewa raja membuat agama periferal bersifat dominasi.
Agama menjadi pelindung kaum penguasa dan bagi masyarakat menjadi alat kontrol prilaku menyimpang sesuai difinisi penguasa. Sehingga agama tidak lagi menjadi milik komunitas atau masyarakat suku tetapi telah menjadi milik penguasa.
Agama Spiritual
Tahap terakhir adalah agama spiritual, tahap ini dikatakan sebagai tahap puncak atau tahap pencerahaan terhadap berbagai mitos dan tabu agama. Banyak ahli juga menyebut tahap spiritual sebagai tahap demitologisasi, didekonstruksinya berbagai mitos suci untuk mendapatkan nilai-nilai kebijaksanaan di dalamya.
Semakin terbukanya berbagai tabu maka observasi terhadap dunia dan isinya smakin terbuka Ilmu Pengetahuan menjadi salah satu mercusuar di tengah kegelapan, tumbuhnya sikap-sikap rasional, empiris, kritis dan emansipatoris memberikan tekanan bagi kemapanan agama.
Pada tahap ini agama bertransformasi menjadi kekuatan pendamping bagi kerakusan manusia hedonis, pemikiran materialis, dan para pemangku modernis. Agama spiritual sebagaimana pandangan Robertson tidak lagi dimaknai secara tradisional, dilanjutkan dengan Cassanova, Kimball dan Amstrong memberikan penguatan bahwa agama spiritual mampu memberikan penerangan sebagaimana ilmu pengetahuan.
Agama spiritual adalah tuntunan ke arah penghargaan terhadap kemnusiaan sehingga menghindari dehumanisasi, penguatan bagi pencinta alam dalam pelestarian ekosistem, ideologi untuk memberikan perhatian bagi elit dalam memperhatikan kaum miskin dan marginal.
Inilah agama spiritual, menjadi jiwa bagi manusia, ayat-ayat untuk kebaikan dipublikasikan dan dijadikan alat pemersatu.