Sakralitas Gunung di Bali

       Pandangan kosmologis masyarakat religius memperlihatkan orientasi kehidupan yang terbagi atas, pertama suatu pengandaian-pengandaian dan cara-cara untuk menafsirkan eksistensi, kedua suatu pandangan dunia yang membentuk pengertin manusia tentang dirinya dan tentang alam lingkungannya. Teoritisi agama R. R. Marret menyatakan pangkal dari segala perilaku keagamaan ditimbulkan oleh perasaan tidak berdaya dalam menghadapi peristiwa-peristiwa yang dianggap luar biasa dalam kehidupannya. Alam dianggap sebagai tempat adanya kekuatan-kekuatan luar biasa yang telah dikenalnya dalam alam sekelilingnya. Sejurus dengan itu menurut Koentjaraningrat manusia memiliki naluri mistik yang mendorongnya untuk melakukan berbagai bentuk ritual kepada kekuatan tinggi yang olehnya tampak kongkrit di sekitarnya dalam bentuk keteraturan alam, pergantian musim dan kedahsyaratan alam dalam hubungannya dengan hidup dan kematian.

Daya Gunung

Manusia religius memandang dirinya, keberadaan dan kedudukannya sebagai bagian dari alam sekaligus lebih kecil dari alam. Karena alam dianggap memiliki kekuatan yang melebihi dirinya atau disebut juga super natural power dilain pihak manusia memiliki keterbatasan dalam memahami dan mengatasinya sejauh teknologi dan pengetahuan yang dikuasainya. Hal tersebut menumbuhkan suatu perasaan yang oleh Glock dan Strak disebut sebagai emosi keagamaan. Emosi keagamaan yaitu rasa kagum, ngeri, takjub dan takut terhadap kekuatan alam dan berbagai kejadian alamiah dapat menumbuhkan sikap-sikap tertentu, dan memberikan orientasi kehidupan.

            Gunung sebagai salah satu bagian dari alam yang menyimpan berbagai daya baik konstruktif maupun dekonstruktif, keberadaannya memberikan banyak manfaat bagi kelangsungan hidup manusia, juga mampu menumbuhkan emosi keagamaan dan memberikan masyarakat suatu orientasi hidup. Dalam konteks Bali kepercayaan terhadap berbagai daya yang ada pada gunung mendorong masyarakat untuk mengkonstruksi suatu tatanan hidup harmonis dengan alam baik dalam dimensi fisik dan psikis hal ini menjadi kepercayaan yang tetap bertahan dan diperkaya oleh agama Hindu yang dating belakangan. Daya yang ada pada gunung bagi manusia Bali memberikan predikat tinggi (luhur), segala bentuk aksi diarahkan pada tujuan yang  luhur karena luhur juga berarti suci, tempat segala yang suci (sorga), kategori tersebut menempatkan Gunung sebagaimana gagasan Eliade mengenai simbolisme pusat. Gunung sebagai simbolisme pusat berarti nilai-nilai tindakan tertinggi dipusatkan pada representasi Gunung.

Gunung dalam Teks Kuno

            Gambaran mengenai pandangan tersebut diuraikan dalam lontar Tantu Pagelaran. Gunung sebagai pusat dalam lontar Tantu Pagelaran menyuratkan keadaan bumi (Jawa) yang pada mulanya Chaos atau kacau menjadi Cosmos atau seimbang, keadaan Jawa yang timpang, rapuh, goyang dan tidak seimbang dikembalikan oleh keberadaan gunung Mahameru yang diambil dari puncak Gunung Mandara dari Jambhudwipa (India). Lontar Dharma Sunia menegaskan kembali Gunung sebagai pusat atau kosmos, Bhuwana sebagaimana Lontar Dharma Sunia diartikan sebagai Bumi diringkas menjadi Gunung, Gunung diringkas menjadi Meru, Meru diringkas menjadi penjor. Kesamaan antara Gunung, Bumi, dan Meru yaitu memiliki lapisan-lapisan yang bertingkat dan memiliki puncak.

            Secara mikro, berangkat dari pandangan bahwa gunung merupakan simbolisme pusat, tindakan-tindakan mikro manusia Bali berorientasi kearah Gunung. Konsep ulu-teben, tidur kepala menghadap kearah gunung, penempatan tempat suci, penataan ruang dalam rumah masyarakat Bali-Hindu merupakan serangkaian kegiatan yang berorientasi kearah suci (Gunung). Banyak lagi contoh bila dilihat dari sisi upacara dan upakara, konsep lingga acala. Dalam teks Panca Wati gunung yang terdiri atas hutan-hutan memiliki tiga fungsi. Pertama disebut Maha Wana hutan yang berfungsi untuk melindungi umat manusia dari gejala-gejala alam, kedua Sri Wana yaitu hutan yang ditujukan untuk kepentingan produksi yaitu pertanian, ketiga Tapa Wana yaitu hutan yang ditujukan untuk membuat asrama dalam rangka melatih kesucian.

Gunung sebagai Orientasi kesucian

Pentingnya suatu orientasi dalam beragama dan juga dalam kehidupan adalah memberikan suatu pijakan untuk melakukan tindakan kearah harmonisasi baik secara sosial, individual dan spiritual. Segala yang berada dalam lingkup pikiran akan mudah didefinisikan, diimplementasikan, dikonsepkan, sedangkan yang tidak terpikirkan bagi manusia yang berfikir atau terkurung dalam pikiran untuk menemui yang tidak terpikirkan akan mengalami kebuntuan. Orientasi menjamin pikiran mengarahkan konsep, difinisi, dan implementasi ketujuan yang diinginkan dengan membangun relasi-relasi. Relasi dapat berupa simbol-simbol yang memberikan cerminan tentang tujuan yang ingin dicapai bersama dalam kehidupan beragama, jadi tindakan beragama secara universal adalah tindakan simbolik. Orientasi memberikan suatu perspketif, arah pandang dalam menjalani kehidupan beragama untuk menuntaskan tujuan individu dan kelompok. Kesucian diraih dengan memberikan difinisi, konsep dan diimplementasikan, tanpa adanya difinisi, konsep mengenai yang suci, implementasi akan kabur dan samar-samar bahkan tidak jelas. Dampak dari Gunung sebagai orientasi sakralitas masyarakat Bali memberikan sumbangan pemikiran ekologis yang signifikan tidak hanya menembus alam bathin. Kelestarian Gunung sebagai suatu tempat yang suci dengan Pura-Pura besar yang ada,memberikan pandangan ekologis bahwa Gunung harus dijaga kelestariannya, dengan hutan belantara sepanjang mata memandang. Gunung juga merupakan Maha Wana yaitu hutan lindung bagi kehidupan umat manusia, dengan beragam fungsi ekologisnya Gunung adalah harta kekayaan masyarakat Bali yang harus dijaga keadaanya. Terkait dengan itu alam pikiran dan alam bathin masyarakat Bali telah tertanam tentang daya mistik Gunung yang tergambar dalam terminologi Alas Angker, Alas Arum, Alas Rasmini. Daya mistis-ekologi apabila diimpelemtasikan dalam suatu tindakan nyata akan sangat bermanfaat bagi kehidupan manusia.