Ogoh-Ogoh

Perspektif Fungsionalisme Durkheim

Tilem kasanga lebih dikenal dengan pengerupukan, selain mecaru yang merupakan fungsi manifes (bagian tidak terpisahkan) dari sasih kasanga terdapat fungsi laten, yang dikenal dengan pengarakan ogoh-ogoh.

Fungsi laten karena pengarakannyabukan merupakan bagian tidak terpisahkan dari upacara bhuta yadnya pada tilem kasanga, namun sebagai bagain yang diakibatkan oleh adanya tilem kasanga, sehingga banyak yang menyatakan bahwa ogoh-ogoh adalah produk budaya.

Ogoh-ogoh di Bali

Pandangan ogoh-ogoh sebagai produk budaya mendapat pembenaran apabila melihat ciri-ciri yang ada pada pembuatannya dikaitkan dengan gagasan Agger tentang budaya populer.

Menurut Agger pemikiran tentang budaya populer dibangun berdasarkan atas kesenangan namun tidak substansial dan mengentaskan orang dari kejenuhan kerja sepanjang hari.

Lebih lanjut dalam mengkategorisasi budaya yang termasuk budaya populer, William menerbitkan ciri-ciri budaya populer, anatara lain:

  1. Tren yaitu merupakan budaya yang diikuti dan disukai oleh banyak orang atau masyarakat, namun bersifat sementara.
  2. Keseragaman bentuk ialah budaya yang seringkali mengalami penjiplakan.
  3. Profitabilitas adanya keuntungan.
  4. Durabilitas, ketahanan budaya populer terhadap waktu.

Kongkritnya label budaya populer dapat diuaraikan sebagai berikut;

Pada awal tahun menjelang hari pengerupukan muda-mudi (yang dikenal dengan STT) telah mempersiapkan pembuatan ogoh-ogoh, pada saat itu, tren pembuatan patung raksasa mulai menyebar ke seluruh banjar, terlebih di beberapa kabupaten telah dilombakan.

Terdapat kesamaan asumsi di masyarakat disimak secara aposteriori bahwa ogoh-ogoh harus seram hal ini terkait kognitif masyarakat Bali tentang bhuta kala yang disomya (di harmoniskan) pada upacara mecaru tilem kasanga.

Topeng ogoh-ogoh

Menerima gagasan tersebut, secara normatif ogoh-ogoh bukan merupakan rangkaian hari pengerupukan, karena itu tidak bersifat suci. Namun terdapat pandangan yang menyatakan terkadang ogoh-ogoh juga diperlakukan sebagai benda sakral, diupacarai dan sebelum di arak para pengarak ogoh-ogoh matirtha terlebih dahulu.

Lalu bagaimana memandang fenomena tersebut ? Di tahun poitik ogoh-ogoh juga ikut diatur dan dipermasalahkan bahkan di Desa tertentu ditiadakan, sekali lagi ini menegaskan ogoh-ogoh bukan bagian dari suatu hari suci, namun kenapa juga diperlakukan secara suci ?

Apakah Ogoh-Ogoh adalah Produk Budaya atau Bukan?

Menjawab pertayaan menohok bahwa ogoh-ogoh sering kali diupacarai, dapat di cari melalui gagasan fenomenal Emile Durkheim yaitu teori fungsionalisme.

Kehidupan keagamaan tidak terlepas dari dua entitas beroposisi biner, yaitu yang skral dan yang profan. Sakral adalah lawan dari profan, namun kedua entitas tersebut saling melengkapi. Sakral memiliki ciri ekslusif, non-reguler, urgen atau penting. Profan memiliki ciri inklusif, reguler dan banal.

Ekslusif artinya pingit yaitu memiliki keistimewaan, spesial dan milik angota tertentu, inklusif artinya milik masyarakat atau milik bersama tanpa adanya keistimewaan. Non-reguler artinya tidak setiap saat atau pada waktu tertentu saja, lawannya yaitu reguler setiap saat. Urgen atau penting karena harus dilaksanakan, sedangkan banal berarti bersifat remeh temeh atau sesuatu yang bisas dilakukan.

Tradisi pengarakan ogoh ogoh

Mengacu pada pandangan tersebut sifat sakral bertentangan dengan profan, sakral merupakan identitas yang berbeda dari profan, dalam memasuki suatu yang sakral maka orang atau masyarakat harus menjadi sakral terlebih dahulu.

Sekat tipis anatara sakral dan profan dibelah oleh suatu unsur yaitu inisiasi. Segala sesuatu yang telah diinisiasi akan memasuki ranah sakral, juga masuk ke dalam ranah agama. Sebaliknya tanpa adanya inisiasi maka benda atau kegiatan tetaplah menjadi kegiatan profan.

Inisiasi menjadi proses pensakralan dan ini telah dijelaskan oleh Durkheim dalam buku fenomenal yaitu The Elementary Form of The Religious Life. Apabila dikaitkan dengan ogoh-ogoh, ketika kita menyatakan ogoh-ogoh produk budaya maka ditandai dengan ketiadaan inisiasi.

Apakah Ogoh-Ogoh Sakral atau Tidak?

Pandangan Durkheim tentang inisiasi dalam agama Hindu dapat dikaitkan dengan upacara dan upakara, sebagai pembentuk inisiasi. Singkatnya ketiadaan inisiasi menandakan ogoh-ogoh bukan produk sakral dan bebas diperlakukan entah setelah pengarakan dibakar atau tetap dipajang di balai banjar.

Namun sikap terhadap ogoh-ogoh apabila telah diinisiasi akan menjadi benda sakral sehingga terdapat sikap tertentu yang harus dihadapkan setelah pengarakannya.

Melalui pemikiran Durkheim kendati bersifat klasik dalam memandang agama namun dapat memberikan rekomendasi dalam menghadapi permasalah ogoh-ogoh, yaitu masyarakat yang memandang ogoh-ogoh sebagai produk budaya, mulai kini harus meniadakan inisiasi dan melenyapkan pandangan mengenai ogoh-ogoh adalah simbol Bhuta Kala.

Sebaliknya masyakat yang tetap menginisiasi ogoh-ogoh harus memiliki sikap tertentu yang disepakati oleh lembaga agama dalam memusnahkan ogoh-ogoh setelah pengarakan.