Menjadi Manusia Hindu
Perdebatan tentang subjek mulai dari asal-usulnya sampai ranah paling hakiki yaitu makna keberadaanya selalu menemui ketegangan, dilacak dari berbagai sudut pandang mulai agama, ilmu pengetahuan sampai metafisika. Dari sudut agama yang menyatakan manusia atau subjek memiliki unsur ilahi. Gesekan antara agama dengan sains yang paling mengguncang dan mungkin dibenci adalah teori evolusi.
Darwin dengan dalil bahwa manusia adalah hasil perubahan secara perlahan dari bentuk fisik yang paling primitif hingga menjadi seperti sekarang bertahan dan berkembang melalui seleksi alam. Berikut dalam ruang sosiologi pertikaian pemikiran antara manusia yang dideterminasi oleh struktur (institusi sosial) dan alam biologisnya (pandangan naturalis) dengan manusia yang memiliki kehendak bebas seperti pandangan eksistensialisme juga dapat dikatakan menarik.
Dibelahan dunia lain, secara metafisis tradisi filsafat timur seperti uraian Takwin, memberikan pandangan manusia yang hidup seimbang dengan alam sebagai suatu kebijaksanaan, tradisi Budha mensyaratkan kelahiran manusia yang penuh derita dan ditebus dengan berbagai perbuatan baik dalam mencapai kebebasan asali bernuansa ilahi.
Manusia Utuh: Perspektif Hindusime
Agama Hindu memiliki perspektif mengenai proses pembentukan subjek, hal tersebut dapat dilacak dari janin dalam kandungan hingga dewasa. Manusia dalam kandungan perspektif Hindu di Bali dirajut oleh unsur kepercayaan lokal. Rajutan agama Hindu dan unsur lokal memandang janin tidak lepas dari beberapa unsur pembentuk, dalam agama Hindu selain merupakan fusi dari kama bang dan kama petak, janin juga memiliki spirit ilahi yaitu atman atau jiwa. Kelahiran tidak lepas dari sisa perbuatan atau (wasana) di kehidupan terdahulu yang belum habis dinikmati, selaras pandangan Van Pragh dalam bukunya Talk to Heaven menarasikan suatu ketertarikan dan keterikatan tidak lepas dari kehidupan dahulu yang pernah dirasakan, jadi teori tabula rasa dinegasikan. Keterkaitan dengan pandangan mengenai subjek, maka atman dalam diri janin sebagai daya hidup yang murni, dibungkus oleh berbagai ornamen-ornamen regresi kehidupan.
Pandangan mengenai wasana dapat dijelaskan kembali dengan perspektif fakta di masyarakat. Selain keterikatan mutual janin dengan Ibu sehingga melahirkan berbagai pantangan bagi Ibu, kepercayaan lokal mengilustrasikan janin tidak lepas dari dua hal, pertama saudara empat yang melindungi janin (sebagaimana kepercayaan terhadap catur sanak) dan janin merupakan reinkarnasi dari leluhurnya (terinskripsi dari tradisi matuun). Pada tahap yang paling fragmentaris janin telah dilabeli suatu karakteristik bawaan yaitu sebagai reinkarnasi leluhur, yang masih eksis di beberapa daerah adalah tradisi metuwun dengan jalan bersembahyang di kamulan dengan upakara yang bertujuan mempersilahkan leluhur untuk numitis (lahir kembali).
Awal Kelahiran
Kemudian dilanjutkan dengan kehadiran bayi, yang disambut dengan upacara kepus puser dan pada bayi usia 42 hari dilaksanakan upacara macecolong yaitu melepaskan unsur-unsur panca sanak berupa, ari-ari, yeh nyom-yom, lamak, dan darah yang telah membantu proses kelahiran bayi (kepus puser), sekaligus berterima kasih atas perlindungan bagi janin selama dalam kandungan sehingga lahir dengan selamat (Macecolong) namun dalam kategori ini pengaruh catur sanak masih ada.
Dalam lingkup pembentukan manusia, persepsi terhadap berbagai kehidupan lain yang ada di Bumi, baik yang dianggap membantu dan berpotensi meresahkan kehidupan selalu dirangkai melalui tindakan simbolik menuju harmonisasi. Ketegangan antara yang nyata dan gaib didamaikan melalui tindakan-tindakan menuju harmonis, begitu juga dalam proses upacara mecaru, caru artinya manis atau harmonis bukan bertujuan untuk mengalahkan mahluk yang dianggap lebih rendah (karena tidak memiliki wadag fisik) tetapi diharmoniskan, disesuaikan sehingga muncul terminologi somya.
Jadi kepercayaan terhadap mahluk lain (nuansa animis) telah tergambar dalam keaadaan yang paling fragmentaris sampai pada kehidupan dewasa, relasinya bukan dalam hal menguasai atau dikuasai tetapi mengharmonisasi, menyelaraskan.
Tubuh fisik yang telah utuh sebagai manusia dan lepas dari unsur-unsur catur sanak dirayakan melalui upacara nyambutin. Melalui pemotongan rambut bayi, kemudian pengurungan bayi dalam keranjang dan di gendong oleh saudara dengan jenis kelamin yang sama dengan berbagai mainan disesuaikan dengan jenis kelamin, pertama kali menyentuh tanah dan bermain dengan binatang air tawar telah menandakan pengaruh catur sanak telah dilepaskan. Bayi setelah upacara tersebut dianggap telah dapat diajak ke Kahyangan Tiga, karena tubuhnya yang telah utuh sebagai manusia, atau suci karena secara ritual telah diberi “adan” yaitu nama yang ditulis di linting, (ditulis di daun lontar). Setelah beranjak dewasa manusia dianggap telah memiliki kemapanan tubuh namun belum sepenuhnya stabil begitu juga dengan psikisnya, karena seringkali kemapanan tersebut diguncang oleh masa peralihan menuju tubuh dan psikis yang harmonis.
Daur Hidup dalam Hindu
Agama Hindu menterjemahkan masa peralihan menuju dewasa tidak lagi terkonsentrasi pada tubuh utuh dan perkembangannya secara psikis, tetapi juga terdapat pengekangan berbagai tingkah laku, faktual dengan adanya tradisi asketik awal menuju kearah Dewasa.
Tradisi asketik ini bernilai individual maupun sosial, secara individual manusia dibentuk oleh berbagai pantangan sikap-sikap non-etis melalui tindakan simbolis “masekeb” berikut larangan non-etis tersebut merupakan prasyarat bagi remaja menuju kearah dewasa dalam pengertian mempersiapkan diri terjun kemasyarakat dengan berbagai tanggungjawabnya.
Menahan ego-pribadi menuju super-ego yang dibentuk oleh masyarakat. Terminologi “menek kelih” (menuju dewasa) dan pemangkasan sikap non-etis sebagai penghambat menuju hubungan yang harmonis dengan masyarakat adalah acuan dalam kehidupan bersama yang harmonis, gejala-gejala menuju dewasa sekali lagi mengalami harmonisasi melalui inisiasi sebagai anggota masyarakat baru.
Kehidupan anak-anak sampai remaja dilabeli sebagai masa brahmacari, masa menuntut ilmu dengan berbagai tanggungjawab yang diemban. Penghormatan terhadap catur guru menjadi kewajiban mutlak atau semacam hutang yang dimiliki untuk dituntaskan sehingga beban tersebut membentuk sikap-sikap tertentu.
Tri Rna, Tiga Hutang Umat Manusia
Setelah dewasa manusia dihadapkan pada kehidupan baru mengenai penyatuan dua jenis kelamin, yaitu masakapan atau makurenan, disini manusia yang telah diinisiasi melalui upacara tersebut dibebankan berbagai ritual dalam hidupnya untuk membayar hutang yang disebut dengan tri rna.
Ketiga hutang tersebut melahirkan berbagai laku ritual yang disebut panca yajnya dengan berbagai difinisi dan bagiannya. Ritual panca yajnya melahirkan tindakan yang terstruktur dan terpola sesuai dengan memori kolektif masyarakat dengan berbagai variasinya.
Ketika masih janin, bayi dan anak-anak tubuh dan psikis individual mendapatkan konsentrasi, maka ketika remaja dan dewasa tanggung jawab sosial menjadi domainnya. Manusia tidak lagi sebagaimana adanya namun telah masuk kedalam kerumunan besar yang disebut dengan masyarakat. Bagian terakhir dalam perjalanan kehidupan sebelum kematian adalah menghadapi masa tua, faktual di masyarakat masa tua adalah masa “persentasi” dimana pengetahuan dan pengalaman yang matang membawa manusia sebagai “yang dituakan” atau sepuh dalam kehidupan.
Oleh: Ida Bagus Made Satya Wira Dananjaya