Sejarah Terbentuknya PHDI

Kehidupan beragama  di Indonesia tidak hanya menjadi permasalahan pribadi, namun juga publik bahkan Negara. Hal ini terlihat pada keinginan Negara untuk masuk dalam lini kehidupan agama masyarakat dalam bentuk regulasi.

Pada tahun 1952 Kementerian Agama berusaha mengimplementasikan kebijakan K.H Wahid Hasyim untuk meminta “orang-orang yang belum beragama” dimaksukkan ke dalam salah satu agama yang telah diterima Negara.

Perjuangan Awal agar Hindu Diakui Sebagai Agama di Indonesia

Berdasarkan pengukuran para utusan yang dikirim ke Bali tahun 1950, masyarakat Bali telah diklasifikasikan sebagai pemeluk aliran kepercayaan melalui SK Menteri Agama RI No. 9 pasal V tahun 1952 ditetapkan menjadi bagian H, yaitu disejajarkan dengan aliran agama yang belum ada ketuhananya.

Canang di Bali

Konstelasi politik pasca kemerdekaan sebagaimana di ulas oleh Utama (2010), Sudharta dan Surpha (2006), dan secara teoritik diuraikan oleh Maliki (1998), A. Gramsci, M. Foucault telah berpihak pada mayoritas sebagai pemegang ukuran kebenaran. Negara melakukan dominasi terhadap kehidupan beragama masyarakatnya dengan mengedepankan nilai-nilai tertentu sebagai standar kebenaran.

Sehingga standar tertentu dianggap sebagai nilai-nilai yang harus diikuti dan legitimit, apalagi nilai-nilai sebagai ukuran kebenaran tersebut dianut oleh mayoritas elit Indonesia kala itu. Berbagai bentuk usaha dilakukan oleh para Intelektual Hindu baik dari kaum terpelajar dan tradisional untuk merebut hak politiknya.

Sejak dikeluarkannya petisi bersama yang menuntut dibentuknya seksi agama Hindu-Bali di dalam tubuh Kementerian Agama berdasarkan atas asumsi bahwa Agama Hindu Bali tidak bertentangan dengan sila pertama Pancasila pada 14 juni 1958.

Usaha dalam membangun kesatuan asumsi tentang keselarasan Agama Hindu yang tengah diperjuangkan untuk diresmikan dengan nilai-nilai Pancasila menunjukan Agama Hindu sebagai Agama tertua yang datang ke Indonesia bahkan sudah menancapkan pengaruhnya pada Abad ke- 2 Menurut Vlekke (2015) dan Phalgunadi (2001), harus berjuang ekstra untuk mendapatkan pengakuan Negara.

Sloka-sloka untuk mendukung kesepahaman theologis dengan pancasila sesungguhnya telah ada baik pada sloka-sloka yang berbahasa Sansekerta maupun Jawa Kuna.

Artinya sloka-sloka dari kitab Pusat segaris dengan kitb-kitab turunannya yang di pelajari dan diwarisi di Bali. Perjuangan politis bernafas theologis (karena perjuangan untuk mendapatkan pengakuan sebagai agama yang memiliki unsur ketuhanan) untuk mendapatkan label “resmi” mendapatkan buahnya.

Pengakuan Hindu Bali dan Sejarah PHDI (Parisada Hindu Dharma Indonesia)

Didukung oleh situasi yang berkembang pada masa pemerintahan Soekarno, reformasi tradisi “Hindu Bali” yang dikemukakan dalam petisi itu (14 Juli 1958), telah diterima di Jakarta dan pada tanggal 1 Januari 1959 Agama Hindu bali telah mendapatkan penerimaan resmi dari pemerintah Indonesia.

Picard mencatat Hindu sebagai bagian dari Kementerian agama tanggal 5 September 1958, tanggal yang sama diuraikan Ramsted yang dikutip oleh Sudharta dan Surpha dalam bukunya Parisada Hindu Dharma dan  Konsolidasinya.

Dibentuknya bagian urusan  Hindu Bali di dalam kementerian Agama menandakan penerimaan politis telah di dapatkan dan label “Agama Pelat Merah” telah disandarkan.

Logo sejarah PHDI Parisada Hindu Dharma Indonesia

Sejarah kemudian mencatat pada tanggal 23 Pebruari 1959 (PHDI Pusat 2005:12), semua organisasi keagamaan di Bali menyatu menjadi sebuah badan yang harus mewakili masyarakat Hindu Bali secara keseluruhan yang disebut Parisada Dharma Hindu Bali yang dimodelkan dengan Parisad di India (Ramsted, 2004).

Melalui berbagai tahapan Maha Sabha, dirumuskan tata laku keagamaan Hindu, tercatat sejak diubahnya nama PHD Bali menjadi sejarah PHDI Indonesia berbagai gagasan monumental mulai diimplementasikan untuk melakukan indoktrinasi nilai-nilai agama Hindu.

Satu buku monumental tentang garis-garis besar ajaran Hindu yaitu Upadesa.  Gagasan-gagasan modernis Hindu yang dikembangkan mengakibatkan adanya pergeseran bertahap dari ritualisme ke skriptualisme, dari mistik ke etik dan dari pengalaman keagamaa kolektif ke individual (Nordholt, 2010).

Salah satu anasir fundamen kehidupan keagamaan yang oleh Glock dan Strak, begitu juga Koenjtaraningrat yaitu disebut Keimanan, juga diatur atau dirumuskan.

Dasar keimanan agama Hindu dirumuskan dalam konsep Panca Sradha, yaitu lima keimanan agama Hindu yang terdiri dari Brahman sradha (tattwa), Atman Sradha (tattwa), Kharmaphala Sradha (tattwa), Punarbhawa Sradha (tattwa) dan Moksa Sradha (tattwa).